23. Hey, tenanglah

3.4K 888 61
                                    

Writer side

Langkah seorang lelaki bernama Huang Renjun terhenti dibelakang sebuah rumah yang terbilang luas. Lelaki itu melirik kesana-kemari dari balik topinya, kemudian melancarkan rencananya untuk meloncati dinding yang sama dengan tinggi badannya. Beruntung tidak ada orang lain yang berlalu-lalang ditengah hujan seperti ini. Sebuah penolong untuknya disaat rasa khawatir semakin memuncak.

Renjun segera melanjutkan langkah setelah mendarat disamping gudang, kembali mengecek keberadaan orang lain.

Kosong. Hal yang sangat baik.

Ia reflek masuk kedalam rumah tersebut setelah membuka jas hujan yang ia kenakan dan setengah berlari usai mengunci pintu. Renjun yang tadinya berniat menuju lantai atas berhenti begitu mendapati sebuah kamar dilantai satu terbuka.

Tidak semestinya.

Ia lalu berjalan kedalam sana, sontak menemukan Grace yang telah meringkuk dengan ponsel yang masih berada ditangannya. Renjun terkejut, sangat cemas dengan kondisi Grace.

"Grassie." Ucapnya pelan dan menyibakkan rambut gadis itu. Tidak ada respon, yang menandakan mungkin Grace sedang pingsan. Renjun berusaha memperbaiki posisi Grace dan merapikan anak rambutnya yang berantakan. Renjun melihat keringat yang telah membanjiri pelipis Grace serta bibirnya yang memucat.

Lelaki bermarga Huang ini mengusap wajahnya pelan, terlalu kalut usai menemukan Grace seperti ini. Dengan itu Renjun tidak bisa membantah jika dirinya sendiri sedang panik.

Renjun memutuskan untuk keluar dari kamar, memeriksa satu persatu ruangan. Pikiran Renjun memintanya melakukan hal itu, takut jika saja ada orang lain didalam sana. Namun beruntunganya, setelah memasuki semua ruangan, tidak ada siapa-siapa.

Nafas Renjun terdengar dihela, dilanjutkan dengan langkahan kaki menuju dapur. Ia meraih sebuah gelas dan mengisinya dengan air mineral, kemudian kembali masuk kedalam kamar ibu Grace lagi untuk meletakkannya disamping ranjang. Tiba-tiba saja kaki Renjun menginjak sesuatu. Begitu menunduk, lelaki ini menemukan lembaran-lembaran kertas yang sudah berserakan. Lantas ia meraih kertas-kertas tersebut untuk membacanya satu persatu. Raut wajahnya semakin kebingungan, tangannya semakin mencengkram lembaran-lembaran tiap menemukan kata-kata baru.

Persis setelah membaca kalimat akhir, Renjun segera meletakkan kertas-kertas diatas nakas dan kembali menghampiri Grace yang masih tertidur. Untuk kesekian kalinya deru nafas berat Renjun terdengar, menandakan jika dirinya dilanda gelisah.

Grace sendiri tidak kunjung sadar, membuatnya terus menggenggam tangan gadis tersebut. Berharap, setidaknya Grace akan membuka mata dan melihatnya ada disini.

"Bu—" gumam Grace membuat mata Renjun sontak membulat. "Ibu."

"Grassie, hey. Ini aku." Renjun menunduk, menemukan Grace yang belum sadar sepenuhnya. "Ini Injun-mu, Grassie."

"Jun, aku takut."

"Tidak, tidak. Ssst." Renjun memutuskan untuk berbaring, mendekatkan wajahnya ditelinga Grace. Lelaki itu memelankan suara, membisikkan kata-kata lembut ditelinga Grace. "Injun disini, kau tidak sendiri."

Grace perlahan tenang, tenang dan kembali diam.

"Grace?"

Respon terhenti.

"Baiklah. Kau butuh istirahat lagi." Ujarnya dengan menyelipkan anak rambut Grace kebelakang telinga. "Aku disini, aku akan menemanimu."











—lrv—











"Ya."

Ucapan itu cukup untuk membuat Huang Renjun terganggu dari lelapnya. Perlahan Renjun mengerjapkan mata, berusaha mengedarkan pandangan kesekitarnya.

"Sampai kapan kau mau tidur, huh?"

Suara Na Jeno kini sukses membuatnya terbelalak. Ia menemukan kelima sahabatnya yang lain, namun bukan di Le Reve. Begitu Renjun melihat kesamping, secara bersamaan Grace ikut melihatnya kebingungan. Renjun dan Grace bangkit secara serentak, membuat kelima sahabat mereka yang lain ikut terheran.

"Kalian kenapa?" Tanya Haechan.

"Aku, tadi aku tidak tahu—" jawab Grace terbata-bata. "Renjun dan aku—"

"Aku hanya menemaninya dan ternyata aku ikut tertidur disini." Sambung Renjun dengan cepat sambil menggaruk tengkuknya. "Ah, aku bodoh."

"Kau yakin tengkukmu gatal, hyung?" Tanya Chenle datar. "Kau hanya akan melukainya."

"Eung?"

"Kami tahu untuk apa kau disini. Kenapa panik seperti itu? Gara-garamu kita harus lewat gudang atas, aish menyebalkan." Protes Jaemin seolah menyudutkan Renjun. Hal ini membuat Renjun sedikit salah tingkah bersama Grace yang memilih menunduk dengan menangkup wajahnya. Sementara itu, Park Jisung terdengar tertawa ringan.

Merasa dirinya seperti dipojokkan, Renjun lalu menggelengkan kepala karena kesal. Lelaki itu menuruni ranjang dan berjalan keluar dari kamar. "Aku ingin ketoilet." Lalu langkah kakinya terdengar menaiki anak tangga.

"Ya, Huang Injun." Panggil Jeno.

"Apa? Apa? Ada apa lagi?!" Serunya terdengar semakin lucu.

"Kenapa kau keatas? Ada toilet disebelah dapur, bodoh."

Renjun mendecih pelan agar teman-temannya yang lain tidak mendengar. Ia kemudian melangkah mundur, menuju toilet yang Jeno maksud.

"Ada apa dengannya?" Tanya Jisung. "Aku baru melihatnya seperti itu."

Na Jaemin mengendikkan bahu lalu meraih dua gelas yang berada diatas meja. Ia menyodorkan gelas tersebut pada Grace dengan senyumnya yang mengembang. "Kau minum air putih terlebih dulu, lalu minum cokelat hangat 'Nana' kesukaanmu."

Grace ikut tersenyum senang dan menyambut kedua gelas tersebut. "Terima kasih, Nana."

Jaemin mengangguk. Bersama dengan Jisung, ia berusaha menarik perhatian Grace agar gadis itu tidak menyadari atau kembali ketakutan saat tahu jika Jeno, Haechan dan Chenle kini sedang terkejut membaca kertas-kertas teror tadi.


To be continue

[I] THE DREAM ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang