20. Kami dalam lelahmu

3.7K 901 102
                                    

—Maaf, sebagian naskah telah dihapus untuk kepentingan penerbitan—











Aku dan Keluarga Lee akhirnya tiba dirumah. Aku tidak langsung berjalan masuk seperti biasa. Kusengaja untuk tinggal sebentar mengamati rumah dari luar, berharap bahwa sebenarnya ini semua tidak nyata. Aku berharap ini hanya sebatas mimpi dan begitu masuk, akan ada ibu dan Yangyang menyambutku pulang.

Nyonya Lee menawarkan diri untuk menemaniku masuk, tetapi kutolak dengan halus karena kulihat dia juga sudah lelah. Beliau dan keluarganya banyak membantuku, dan aku tidak ingin terus memberatkannya dengan kembali mengurusku. Cukup dengan berkata tidak apa-apa atau jangan khawatir, aku rasa mereka akan memberiku ruang untuk sendiri.

Aku paham, mereka takut jika percobaan bunuh diriku waktu itu akan terulang. Namun percayalah, aku hanya butuh kesendirian atau hanya bersandar didalam kehampaan kamarku. Sekadar, mencoba untuk benar-benar mencerna ini semua.

Pada akhirnya kulangkahkan kaki masuk kedalam rumah, mendorong pintu dan menyebabkan loncengnya berdenting.

Lalu terdiam.

Merasakan keheningan yang begitu mendalam, tanpa sambutan dari siapapun. Aku tersenyum pedih, menarik gagang pintu untuk kembali menguncinya.

Aku berjalan tanpa mengedarkan pandangan, takut terhujam oleh semua kenangan yang baru saja terjadi beberapa hari sebelumnya. Bahkan disaat aku tidak memandang kedepan, bayang-bayang kehadiran ibu seperti memeluk erat diriku.

Kini aku menaiki anak tangga, dengan air mata yang kembali mengalir dipipi. Sesampainya didepan pintu kamar, kuputar gagang pintu kayu cokelat itu dan mendorongnya. Penglihatanku tidak menemukan kamar yang kosong, namun kamarku kini telah dihuni oleh keenam lelaki yang secara bersamaan menatapku risau.

Aku sedikit terkejut, tetapi tidak seperti dulu.

Kubuka pintu lebar-lebar, berjuang memperlihatkan pada mereka jika— hey, aku baik-baik saja.

Tidak sempat aku menyapa mereka, Na Jeno menghampiriku dan reflek memelukku erat. "Maafkan kami yang datang terlambat."

Aku ingin berkata tidak apa-apa, aku sangat mengerti posisi kalian.

Namun bodohnya aku malah memejamkan mata, kembali menangis semakin keras dihadapan keenam sahabatku ini.

"Jeno, a-aku tidak tahu—"

Kurasakan tangannya mengusap punggungku pelan, dengan satu tangannya lagi mengeratkan pelukan.

"Kenapa ini harus terjadi padaku, Jeno?"

"Grassie."

Suara tangisanku terdengar lebih pedih, membuat Jeno tidak ingin melanjutkan perkataannya. Tanpa melepas dekapannya, ia berjalan mundur guna membawaku ke tepi ranjang lalu melepas pelukannya lembut untuk duduk disana. Aku tetap sama, menangis membawa pilu tanpa memperdulikan jika mereka akan mengejekku.

Jeno bergeser, membuat kembarannya duduk disampingku. Mereka kembali mengitariku, dengan Huang Renjun yang memilih duduk dibawah sambil memegangi tanganku. Ia tidak melihatku, juga tidak mengatakan apapun. Beda halnya dengan Park Jisung, yang kini menyandarkan dagunya dibahuku kemudian ikut terisak bersamaku.

"Noo, noona—"

Jisungie, kita berdua sudah tidak mempunyai ibu.

Aku tidak bisa menjawab Jisung dengan berbicara meski sekadar mengatakan ya. Aku hanya bisa menangis, ikut menyandarkan kepalaku pada Jisung karena lelah.

Benar-benar lelah.

Tidak ada yang memintaku diam. Tidak ada yang berkata semuanya akan baik-baik saja. Mereka mungkin saja ikut terlarut dalam kesedihanku. Kesedihan yang kedua kalinya, yang benar-benar mengguncang batinku.


To be continue

[I] THE DREAM ✓Where stories live. Discover now