16. Our childhood and then

4.1K 946 125
                                    

15 years ago
Writer side

Jalan Somnia terlihat cukup ramai pada sabtu pagi kali ini. Orang-orang tampak berlalu lalang, melalui rumah-rumah yang berderet dijalanan tersebut. Cuacanya terbilang cerah, membuat mereka yang merasakannya menjadi lebih semangat.

Namun itu semua tidak berlaku pada seorang gadis kecil yang tengah menangis didepan sebuah rumah. Gadis kecil itu terlihat sendiri, dengan satu tangan yang memegang sebuah balon.

"Hiks, hiks—" isaknya.

Tidak jauh dari gadis itu, ada seorang anak kecil lainnya —tepatnya seorang lelaki kecil sedang menatapnya dengan raut wajah sangat ragu. Cukup lama lelaki kecil itu terdiam sembari menggenggam satu batang cokelat berpita hijau, sesekali mengusapkan tangan pada kemeja yang dikenakan.

Hingga akhirnya bocah lelaki tersebut berjalan dengan langkah kecilnya menghampiri gadis yang sedaritadi telah menjadi tontonannya. Tanpa basa-basi, bocah itu menyodorkan cokelat miliknya. "Ini, makanlah."

Tangisan si gadis perlahan mereda tatkala mendapati seseorang baru saja memberikan cokelat untuknya.

"Jangan menangis. Kenapa kau menangis?"

Si gadis tidak menjawab, tetapi dirinya tetap menerima cokelat tadi.

"Siapa namamu?"

"Grace."

"Grassie?"

"Grace."

Lelaki kecil itu mendengus, namanya sulit dieja. Ia kemudian menyodorkan tangannya dan berkata, "aku Renjun."

Grace kecil terdiam, merasakan tangannya dijabat oleh Renjun. Sebenarnya Grace membatin, sejak kapan ada seorang laki-laki bernama Injun? Terdengar aneh baginya.

Renjun, Grace. Bukan Injun.

"Kenapa kau memberi ini?" Tanya Grace sambil menunjukkan cokelat dari Renjun.

"Aku, mmm—"


Tuk!


Sebuah batu kecil mengetuk bahu Renjun, membuatnya menoleh kebelakang dengan sebal. Dua lelaki kecil lain nampak menatapnya. Yang satu berada diatas sepeda, yang satunya lagi berdiri sembari berkacak pinggang.

"Kenapa lama sekali?!" Oceh bocah yang berdiri.

"Aku sedang melakukan sesuatu, kembar!" Balas Renjun meninggikan suaranya.

Bukan rasa seram yang terasa disaat anak kecil itu saling menyahut, namun sebaliknya. Rasa gemaslah yang menyelimuti kepolosan mereka.

Si kembar —yang tadinya berjarak beberapa meter dari Grace dan Renjun mendekat.

"Renjun! Apa ini orang yang kamu suka?!" Tanya salah satu dari mereka yang membuat Renjun kecil membulatkan matanya dan menatap mereka sedikit kesal.

Raut lain tampak berbeda dari Grace, yang kebingungan dengan hadirnya anak-anak lain.











Present day
Grace side

Aku terkekeh mengingat perkenalan pertamaku dengan Renjun beserta si kembar. Begitu lucu, pun membuatku gemas pada Renjun kala itu. Aku dan Renjun kembali membahasnya dengan beberapa kali tertawa kecil. Mungkin pelayan yang tadinya membawakan minuman pada kami akan merasa aneh akibat kekehan kami yang tidak berhenti.

"Ah, memalukan jika mengingatnya." Eluh Renjun.

"Tidak juga." Tambahku. "Saat itu, kau menyelamatkan ulang tahunku yang kelima."

"Benarkah? Ah— ya, aku mengingatnya."

Kembali kuukir senyum diwajah begitu Renjun akhirnya teringat dengan apa yang menyebabkanku menangis waktu itu. Tepat disaat aku berulang tahun, ayah pergi usai ibu memutuskan untuk tinggal sementara dirumah nenek. Pria itu pergi, setelah membelikanku sebuah balon dan juga menyimpan surat tuntutan cerai dikamar ibu.

Hadiah yang cukup menyedihkan, bukan?

Namun bagiku tidak juga. Ada hadiah lain yang membuatku bersyukur sampai saat ini. Karena tangisanku, aku bisa berkenalan dengan mereka. Karena kepergian satu orang yang mungkin tidak menyayangiku lagi, aku mendapatkan mereka yang lebih baik. Melewati hari-hariku bersama mereka. Tertawa, menonton, bermain, mendapat sweater rajut dari Nenek Zhong, dan lain-lainnya.

"Injun." Panggilku saat Renjun sedang menyesap vanilla latte-nya yang membuatnya menaikkan kedua alis. "Terimakasih."

"Maksudnya?"

"Kau ada saat itu, hingga saat ini juga. Meskipun, kau sempat meninggalkanku selama dua tahun."

"Aku pun sebenarnya tidak ingin meninggalkanmu."

Aku menunduk mendengarnya. "Terimakasih."

Ia kembali meraih tanganku dan mengusapnya pelan. "Ya Grassie, ya. Tidak usah diulang."

Aku tersenyum, menyadari jika lelaki ini selalu saja berhasil menenangkanku, memberiku rasa nyaman disaat aku sendiri sebenarnya belum bisa mengerti dengan kondisiku saat ini.

Jika bersamanya, aku bahkan akan selalu lupa dengan waktu yang terus berjalan.

"Grace?"

Seseorang menginstrupsi pendengaran kami yang reflek membuat Renjun menunduk, menyembunyikan wajahnya. Aku menoleh, mendapati seseorang yang tengah menghampiriku dengan senyum tipis juga sebuket bunga. Ia hadir dengan pin berbentuk kepala burung camar yang selalu berada disisi dada sebelah kirinya.












—Maaf, sebagian naskah telah dihapus untuk kepentingan penerbitan—

[I] THE DREAM ✓Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin