14. Desta

317 53 12
                                    

Entah kenapa, ketika melihat Hesti dari dekat, waktu terasa lambat. Aku mau semua ini selamanya. Aku pasti gila karenanterpesoa oleh cewek barbar seperti Hesti.

Suara mesin motor disertai klakson membuat kami sedikit duduk menjauh. Ternyata Kak Sherin. Dia menunggu di motornya yang terparkir di dekat gapura gerbang SMA Gakaya.

"Desta!" Sherin melambai sambil tersenyum.

Aku hendak pergi menemuinya, tapi Hesti menarik jari kelingking. Ketika aku menoleh kepadanya, Hesti makan seperti biasa.

Apa cuma perasaan saja dia menarik kelingking tadi?

"Hes, aku ke sana dulu."

Ketus dia menjawab, "Yaudah sana."

Aku bukannya nggak senang melihat Sherin, tapi kedatangan dia timing-nya nggak tepat banget. Aku tersenyum ramah di hadapannya.

"Ada apa, Kak?"

'Ayo, jadi nggak rencana kita tadi pagi?"

Aku sampai lupa, janji makan rawon. "Maaf, aku udah makan sama Hesti."

"Yah. Kan udah pesen rawon setan tugu Pahlawan," kata Sherin.

"Maaf, Kak." Aku memasang wajah memelas. "Hesti tadi sakit dan harus makan. Aku nemenin dia makan."

"Yaudah makan lagi. Kalau perlu tuh temanmu bawa sekalian."

"Oi, busnya sudah kelihatan tuh!" Keluh Hesti, teriak dari halte.

Aku berpamitan pada Sherin. "Maaf Kak, batalin aja."

Sherin menarik ranselku dari belakang.

"Batal? Nggak bisa. Aku sudah pesan tempat, loh. Jangan begitu."

"Oi mau pulang nggak lu?" Cetus Hesti, satu kakinya sudah naik di tangga bus.

"Kalau ditunda aja gimana?" tawarku kepada Sherin.

Belum sempat Sherin menjawab, suara bus melintas membuatku panik. Hesti sudah masuk ke dalam bus. Buru - buru aku berlari mengejar bis kota. Gawat kalau sampai misah dari Hesti. Kan tujuanku mau nolongin dia.

Beruntung bus melambat dan aku melompat masuk melalui pintu belakang bus.

Situasi bus renggang, tiada penumpang berdiri. Aku menemukan Hesti duduk di sebelah kaca jendela.

Aku hendak menempati kursi kosong di sebelahnya, tapi dia menaruh tasnya di sana.

Sabar, sabar, jangan kepancing. Aku duduk menaruh tasnya di bawah. "Wiih, udah bisa naik bus sendiri, berarti udah sehat."

"Bodo ah." Sewot jawabannya. "Bukan urusan lo juga. Duduk tempat lain!"

Aku berdecak kesal. Nih bocah maunya apa? Aku mengamati sekitar. Ada bangku kosong di deretan paling belakang. "Nggak ada tempat lagi."

"Yaudah, berdiri."

Aku nekat mengecek suhu kening Hesti, ternyata masih panas. Sontak dia menepis tanganku. Hesti melotot tajam seperti Hyena mau menerkam mangsa.

Entah apa yang membuatnya marah, tapi aku bisa menerka. Aku mencoba menjelaskan kepada Hesti, kronologinya.

"Kak Sherin ngajak makan tadi pagi. Yaudah, aku setuju. Tapi berhubung motorku nggak ada, yaudah, nggak jadi."

"Bodo amat." Pantulan raut wajah suntuk Hesti terpantul dari jendela. Dia pasti cemburu karena nggak diajak makan rawon setan legendaris.

Tiba - tiba handphoneku berbunyi. Ada pesan masuk dari nomor nggak dikenal. Dari isi pesannya yang berisi rencana makan rawon bersama, pasti ini dari Sherin. Kami sempat bertukar nomor tadi pagi, tapi nggak aku simpan nomornya.

Aku sadar ada sepasang mata mengintip dari samping. Ketika aku menoleh, Hesti kembali memandang jendela.

Sifat iri hati dan dengki Hesti membuatku gemas ingin mencubit pipinya. Ternyata umur nggak merubahnya menjadi lebih baik.

Terjebak macet membuatku haus. Terlebih, tadi habis makan aku belum minum. Hesti juga pasti kehausan. Kasihan dia. Setelah aku meneguk air mineral dalam botol, aku menyodorkan botol buat Hesti.

"Ayo minum. Udah jangan jual mahal."

Dia merenggut botol, meneguk tanpa menempelkan bibir ke mulut botol. Cara minum yang cowok banget. Botol kosong langsung dibuang begitu saja, setengah dilempar.

Aku memungut botol. "Makasih ya, minumannya," ujarku.

"Gue nggak minta. Lu yang nawarin," celotehan.

Sabar, sabar, aku harus sabar menghadapinya.

Lama kami terjebak dalam bus. Hesti pasti bosan. Dia berdecak sebal lantaran handphonenya mati kehabisan baterai.

Aku sengaja memasang satu earbud wireless ke telingaku, lalu satu lagi aku masukkan ke lubang telinga Hesti.

Dia menoleh dengan kerut di kening. Alisnya nyaris menyatu. Tapi, ketika aku menyetel musik sweet korea yang slow, dia berangsur kalem.

Cukup lama kami menikmati musik tanpa obrolan, hingga baterai handphone habis.

Kami menikmati kemacetan. Lampu lampu penerangan jalan menyala dan situasi dalam bus semakin gelap.

Udara mulai dingin, kasihan Hesti. Dia kan sedang nggak enak badan. Tapi mau bagaimana lagi, aku nggak ada jaket. Tadi helm dan jaketku dipakai Dian. Mau aku peluk juga bahaya kalau sampai dia marah. Nyawa taruhannya.

Mungkin, ini waktu yang tepat guna menceritakan kepada Hesti apa yang terjadi sebenarnya kejadian ketika kami masih kecil.

"Hesti. Maaf ya. Sebenarnya, kesalah pahaman waktu kita masih SD tuh akibat ulah Kiki. Setelah latihan basket, aku nggak pernah manggil kamu Monyet."

Tiada jawaban dari Hesti. Tapi, aku yakin dia mendengar semuanya.

"Kiki sengaja mancing perkara karena nilai praktek basket dia dapat B-. Dia sirik. Dan kamu tahu nggak....."

Tiba tiba kepala Hesti singgah ke lenganku. Dia mendengkur kecil. Sepertinya dari tadi dia tidur.

Aku terkekeh. Capek capek memberanikan diri buat cerita, malah ditinggal tidur.

Ketika bus mengerem, Hesti terdorong mundur. Mulutnya terbuka lebar bersandar kursi.

Aku menyorong ke atas dagunya, eh jatuh. Aku coba lagi, hasilnya sama saja. Dasar cewek sus, kalau tidur kayak bocah kecil.

Setiap kali cahaya penerangan jalan menerpa wajah Hesti, wajah bidadari tanpa dosa yang terpejam menyapaku. Aku mengamati bibirnya yang mungil.

Perlahan aku toel bibirnya, empuk, kenyal, sedikit garing.

Semakin lama semakin gila aku dibuat bibir itu. Bagaimana rasa bibir Hesti? apa sama seperti bibir cewek lain? Dosa nggak ya, nenciun Hesti sekarang?

Dia bergerak sedikit dan membuat aku tersadar dari lamunan. Perlahan aku membimbing dia untuk kembali singgah ke lenganku.

Kami bertahan dalam situasi ini, hingga bis kota tiba di halte depan kompleks perumahan Margorejo Indah.

Karena nggak tega membangunkan Hesti, aku putuskan membawanya pulang dengan menaruh Hesti di punggungku. Dagunya berada di pundakku.

Badannya enteng banget, sesuai sama ukurannya yang mini.

Ketika memasuki gerbang kompleks, beberapa satpam di pos jaga meledek kami.

"Ciye, romantis sekali, Den Desta."

Aku memberi kode dengan menempelkan telunjuk ke bibir supaya mereka diam.

Malam dingin, di bawah lautan bintang aku menggendong Hesti melalui jalan berpaving sepi penuh kenangan. Hangat punggungku dan beberapa kali terdengar dengkur kecilnya membelah nyanyian jangkrik.

Anggap saja ini bayaranku karena dulu telah diajari bermain basket olehnya.

Entah kenapa, kalau lihat Hesti kok tiba - tiba aku jadi bodoh ya. Ngapain juga aku peduli sama cewek sus macam Hesti?

****
Jangan lupa vote, ya. Makasih.

Magnetic LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang