"Di sini banyak cewek cantik tinggal milih," ujar Dian, keluar kamar kecil. "Jangan salah pilih, ntar dapat yang kayak Hesti, nyesel loh kak."

"Hmmm gimana ya, cantik fisik mah di kampusku banyak" sahut Kak Radit. "Cantik itu bonus. Main course-nya harus sesuai hati."

Kak Radit mengecek suhu badan gue, terus nyuruh gue melet. Dia taruh sesuatu di lidah gue. "Kecapekan. Istirahat penuh sehari, minum obat, insya Allah sembuh. Jangan skip makan, terutama sarapan."

Dian berdehem keras. Kayaknya dia sadar kalau jadi kambing congek. Dia ngasih kode kode gitu biar dikenalin.

Setelah gue kenalin ke kak Radit, Dian menggantikan gue mewawancarai Radit. Gue biarin aja dah, karena gue ya lemes banget.

Serius, kepala gue masih pusing dan terasa berat. Tapi, karena ada Abang Radit, gue rada lupa sama sakit. Gue putuskan sehabis minum obat untuk rebahan aja.

"Dia nggak makan kak dari kemarin," kata Dian.

Raut wajah Kak Radit menjadi cemas. "Loh, kenapa nggak makan?"

"Demam panggung. Biasa mau ke sekolah baru jadi gitu," lanjut Dian.

"Untung nggak jatuh," jawab Kak Radit, mengusap lembut kening gue. "Makan roti, ya. Apa mau makan nasi?"

"Roti aja cukup Bang."

Radit memberi gue roti isi daging ayam. Dia memang begini orangnya, perhatian banget. Perhatian yang seperti ini kadang membuatku berharap beneran jadi istrinya. Bisa dibilang, Kak Radit tuh cinta pertama gue waktu kecil.

Gue senyum sampai molor saking nyamannya UKS Gakaya. Gue mimpi nikah sama Radit, ijab qobul dapet duit 900 Triliun.

Pas bangun, cuma ada Dian sedang mainan HP.

"Kak Radit pergi, ada urusan," kata Dian. "dah lama sih, dari jam dua."

"Jam dua?" Gue mengecek jam di dinding, udah jam setengah lima. MOS bubar jam tiga. "Kok nggak lu bangunin?"

"Ya kamu molor kayak Winnie the Pooh gitu, nggak tega aku banguninnya."

"Yaudah ayo pulang."

Keadaan gue udah mendingan, mungkin karena obat. Cuma masih lemes aja.

Dian membantu gue melangkah gopoh sampai tiba di gerbang. Selama itu pula dia ngeluh, berat lah, capek lah, cemen nih cewek nggak bisa diandalkan.

Siapa sangka di gazebo dekat pintu gerbang Desta menunggu.

"Sudah baikan?" Desta ngehampirin gue. "Yuk, aku hantar pulang naik motor."

"Lo mau nganter pulang? Emang punya helm? Gue naik bus aja."

Desta memberi helm dan kunci motor kepada Dian. "Kamu bawa pulang motorku. Hesti biar aku yang urus."

Gue protes. "Apaan sih, mau sok ngurusin gue. Lah lu ngurus diri sendiri aja nggak becus. Nggak usah sok jago, dasar lemah."

Desta menarik gue duduk di halte bus dekat gerbang sekolah. Sementara Dian menunggang motor Desta. Dian melambai genit sambil memacu motor. "Semoga bahagia ya kalian berdua."

"Woi pengkhianat sialan!" Gue teriak. "Balim lo, luknut!"

Desta bilang, "Bisa nggak, feminim sedikit?"

"Heeeh, gue bukan elu, femboy lemah!"

Desta berdecak, menyodorkan bento kepada gue. Isinya ayam goreng dan nasi plus saus sambal. Seketika perut ge berdering. Liur gue nyaris netes.

"Nih buat gue?"

Desta mengangguk. "Bisa makan sendiri kan?"

"Maksud lu apa? Lu kira gue masih disuapin Ibu"

Desta membungkam mulut gue dengan paha ayam, lalu mengecek kening gue. "Makan, kamu perlu tenaga untuk sehat."

Seketika jiwa gue meleleh seperti saus sambal yang keluar dari bungkus saus. Desta bisa seperhatian ini ke gue. Dia gentle banget dan di saat yang bersamaan, dia juga mampu mengambil kendali.

Gue mulai makan ketika dia juga makan bento bagiannya.

Sekarang gue berdua doang sama Desta di halte dan gue bisa menghirup aroma tubuhnya lagi, seperti kala kami masih SD. Dari dekat, ternyata dia macho juga.

Kalau makan dia celemotan, mirip Ufo. Gue refleks mengambil butir nasi di bibir tipisnya. Seketika lirikan mata hitam permatanya membuat dada gue memompa darah lebih banyak ke sekujur tubuh.

Dia mengusap bibir gue pakai tisu. Ternyata ada saos di sana. Dia melakukannya tanpa melepas pandangan dariku. Seketika dada gue kena tremor.

Lamunanku pecah oleh suara motor.

***
Jangan lupa vote ya. Makasih.

Magnetic LoveWhere stories live. Discover now