9: Kalung

676 105 47
                                    

"Seseorang yang terlalu mencintai tapi tak punya keyakinan diri, kadang malah memeluk bukan untuk melindungi. Tapi justru untuk mengikat tangan dan menjerat leher. Dia menyakiti, sebelum disakiti. Merasa bahagia menjaga cintanya dengan benteng kecemburuan yang membutakan...."

~Mata Tertutup~

#####

Julian menyetir mobilnya dalam diam. User Ali sudah berbelok jauh dengan mobilnya, tinggal dirinya yang berjuang kembali ke Jakarta dengan perasaan berkecamuk.

Dulu, dia masih meragukan tentang skenario takdir Tuhan. Tetapi hari ini, dia seakan dipaksa untuk mengakui hal itu. Mengapa Matahari menerima donor kornea mata dari Boren, kenapa Dokter Ardy merasa perlu mencari kuburan Boren, dan kenapa dulu sekali... Kosim bisa bekerja di rumahnya sehingga dia bisa membeli tanah berikut rumah gubug bekas guru mengajinya. Mungkin, semua bermuara pada takdir cerita Boren dan Nura.

Nura Kultsum, wanita muda yang cuma bisa tergolek di atas kasur tipis di sudut rumah itu, sudah pernah bertemu Julian berulang kali. Dia tak bicara, cuma diam seribu bahasa. Tetapi tadi, Julian mendengar kalimat-kalimat yang meluncur dari bibirnya. Suaranya bergetar, meski terdengar halus dan merdu.

"Apa... apa benar, dia telah meninggal?"

Julian dan User Ali saling berpandangan, sebelum hanya bisa tertunduk lesu. Abah Jejen dan Kosim tampak sibuk mengumpulkan beling dan kacang rebus yang berserak di lantai kayu tersebut. Sementara Mak Izah hanya terdengar terus menangis.

Dari Abah Jejen terungkap kisah, bahwa mereka pernah bertetangga dengan Boren dulu.

"Dia diasuh Bu Komang, pemulung tetangga kami. Setiap hari, Mak Izah yang mengajar Boren mengaji dan membaca. Dia juga bersahabat dekat dengan Nura. Tetapi ketika Bu Komang meninggal, Boren dibawa Kakak Bu Komang ke Sumatera..."

"Pernah bertemu lagi?" tanya Julian.

"Waduh. Ada kali sepuluh tahun kemudian, dia tiba-tiba datang mencari Nura di Jakarta. Kita sampai kaget semua, ini kok ada bule dikawinannya Nura. Siapa ya? Eh, tahunya Si Boren. Kita tak pernah lupa dengan kenangan tentang anak itu. Selalu ingat, tapi ...." suara Abah Jejen tersekat, dia menoleh pada Nura yang terdengar mulai terisak.

"Sedih ceritanya, Pak. Jauh-jauh katanya dia dari... dari Amerika ya, Mak? Apa India ya," kali ini Abah Jejen menoleh pada Mak Izah.

"Iya," sahut Mak Izah, sebelum lanjut menangis lagi.

"Boren datang, pas usai Nura akad nikah dengan Sudin. Cuma telat ada kali setengah jam ya, Mak? Aduuh...itu Boren menangis saat melihat Nura bersanding dengan Sudin. Nura juga menangis. Kita juga. Sedih semua kita. Ya, kita lama tak tahu kabar anak itu. Tak menyangka dia betul-betul kembali. Aduh, tampan sekali dia saat itu. Matanya makin hijau. Sudah jadi perjaka dia. Oh, andai Abah tahu sifat Sudin itu jelek... mending Abah nikahkan saja Nura sama Boren!"

Boren, menghilang lagi usai hadir dalam resepsi pernikahan Nura. Entah kemana. Sementara Nura harus menjalani pernikahannya dengan Sudin yang ternyata temperamental dan mata keranjang.

"Saat Nura menikah, Abah dan Mak pindah ke Bogor. Nah, Nura tinggal ikut suaminya pindah ke rumah mertuanya. Kami tidak tahu keadaan dia. Tahu-tahu kami dikabari bahwa Nura sudah lumpuh di rumah sakit, suaminya menggugat cerai dan kawin lagi...."

Julian memandangi Nura yang tak berhenti menghapus air matanya. Mantan suaminya dulu telah begitu kejam menyiksa perempuan itu sampai keguguran, dan membuat kakinya patah hingga lumpuh. Usia Nura, kini belum genap 30 tahun. Tapi sebagian besar hidupnya, seakan habis di atas kursi tipis penuh tambalan itu.

Mata TertutupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang