4: Perbedaan

841 119 91
                                    

"Jika kesamaan fisik menjadi jaminan kesamaan hati, maka mungkin tak ada anjing yang setia mengawal tuannya, atau tak bakal ada manusia yang tega menyakiti saudaranya sendiri..."

~Mata Tertutup~

################

"Tidak dikubur dengan layak?" Risma Wulan menjerit di ujung telepon.

Ardi cuma bisa menghela nafas. Tetapi memang kenyataannya begitu. Seakan tak ada tempat untuk Boren Sores, meskipun tinggal jasadnya. Semua daerah menolak kedatangan mayat itu. Warga pada demo, merasa tak sudi berbagi sejengkal tanah. Tempat Pemakaman yang awalnya bersedia menerima, pasti langsung ramai diserbu warga, bahkan penjaga kuburannya juga langsung diteror.

"Dia bukan orang Indonesia! Jangan kuburkan pembunuh itu di Bumi Pertiwi!" teriak warga-warga yang marah, dan terlihat ditayangkan di televisi.

"Ya, Pak... itu hanya sejumlah warga yang menolak jika Boren di kubur di Bumi Pertiwi. Ya, kan kita bisa kirim mayat Boren ke Bumi Sentosa, atau Bumi Perkemahan. Ke Bumi Persada coba deh, Pak. Baru berdiri itu, kredit rumahnya satu juta flat untuk kaum dhuafa. Siapa tahu warga di sana baek-baek, bisa nitip Boren..." kata Alfian, sambil memasukkan sebatang rokok ke mulutnya, namun Wan Alathas cepat mencabut rokok itu dan melemparkannya.

"Maksud rakyat itu, Bumi Pertiwi itu adalah Indonesia. Itu bukan nama perumahan!" bentak Wan Alathas.

"Ya Allah, Pak. Kenapa pusing amat sih? Kalau tidak boleh dikubur di Bumi, Bapak tinggal telpon NASA, pinjem roket. Bensinnya patungan deh tuh, dari mereka yang sok menolak Si Boren. Biar bisa dikirim mayat Boren ke Pluto, kalau sekiranya di Bulan sudah kepenuhan kavling kuburan orang. Manusia kenapa kejam banget sih, Pak? Tanah Indonesia seluas ini juga. Saya juga kalau punya tanah nganggur, saya ikhlasin buat tuh bule. Cuma kan Bapak tahu, rumah aja saya belum punya..."

Wan Alathas terdiam. Alfian kalau ngomong, mungkin suka sembarangan. Para petugas di Lapas ini, bahkan semua mengira... jika di masa kecil pria itu mungkin pernah sawan. Atau kepalanya tak sengaja pernah ketiban duren, atau dia pernah juga diculik rombongan Wewe Gombel yang makan setengah otaknya, baru kemudian dia dikembalikan kepada Emaknya.

Hinaan model begitu kepada Alfian, memang sangat sering terdengar. Wan Alathas juga kadang mendadak kumat darah tinggi jika marah padanya. Tetapi terkadang, ucapan Alfian itu justru ada juga yang mengandung kebenaran.

Pihak Lapas Nusakambangan mulai bingung dengan urusan makam Si Boren ini, mengingat tak mungkin Boren di kubur di penjara.

Tak ada pilihan lain, Wan Alathas akhirnya menghubungi temannya, Ahay. Pemilik Rumah Induk, semacam rumah bagi hewan-hewan yang sakit dan terlantar di Bogor. Tempat penampungan ini juga memiliki TPH (Tempat Pemakaman Hewan) khusus hewan-hewan tak beruntung itu.

"Semua tanah berhak menerima mayat siapapun. Tak masalah mau dikubur dimana saja, kan? Dia muslim, tak mungkin juga dikremasi. Silahkan saja jika tidak berkeberatan..." sahut Ahay, lewat sambungan teleponnya di ujung sana.

Dan begitulah Ardi melihat kondisi makam tersebut. Berbaris tak jauh dari kuburan-kuburan anjing, kucing, dan hewan-hewan bekas eksploitasi keji dari sirkus.

"Tidak... tidak begini..." Ardi memejamkan matanya, berusaha menahan air mata.

"Diantar dengan mobil khusus secara diam-diam itu mayat dari Jawa ke Bogor. Bayangin aja, udah kek bawa virus menular. Semua serba tertutup dan rahasia. Takut didemo warga. Bahkan nasibnya seakan lebih buruk dari anjing liar," bisik Ahay, sebelum berjongkok untuk memegang nisan kayu yang bertuliskan: Disini Terkubur Hamba Allah.

Mata TertutupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang