Afeksi II

136 63 0
                                    


Gadis aneh dan lucu, yang meski telah berakhir lama kisah mereka, masih kerap berhamburan di angan-angannya. Sungguh, kabar darinya adalah yang ditunggu. Namun, bukan kabar yang seperti ini.

Setelah ini, Ann bagaimana perasaannya? Apa dia baik-baik saja? Kira-kira itu adalah sebagian kecil dari rentetan pikiran kacau Awan.

Berduka adalah mimpi buruk bagi siapa pun. Ia bangun tembok tinggi-tinggi, menebar senyum ke sana kemari mengoleksi hati, sedang diri tak ingin lagi terjebak dalam ikatan tak pasti. Semua karena ia takut kehilangan, lagi.

Tanpa disadari, jalanan ibu kota telah ia susuri. Menuju kota tempat kediaman sang gadis yang masih menjadi pujaan hati. Niatnya tidak muluk. Hanya ingin tau keadaannya, bahkan Awan hanya mengenakan kaus hitam juga celana pendek setinggi lutut. Tak terbersit dalam benaknya untuk berganti pakaian. Inginnya hanya untuk segera sampai tujuan.

Sebelumnya, Awan telah menyatakan bahwasanya tak akan lagi hubungi Ann. Untuk kemaslahatan bersama, katanya. Karena ia tak akan pernah kuasa mengikhlaskan apabila mereka masih saling bicara. Namun ia langgar seluruh larangan yang ia gariskan sendiri. Ann itu penting.

Bukannya uang lebih penting, oops, maaf.

Bagaimana, adalah pertanyaan besarnya. Bagaimana ia harus mengutarakan pada Ann apa yang berkecamuk pada perasaannya? Tenggelam ia bersama angan-angan penghujung harinya, sebelum jatuh pada cara klasik yang andalkan secarik kertas dan goresan pena.

Naura Hasna Annida, untai nama yang senantiasa deringkan fragmen-fragmen memori pembawa sukacita juga dukacarita.

Ann, asalamualaikum, ini aku. Mungkin kamu bisa tebak, tapi aku enggak akan sebut nama di surat ini. Dan kuharap surat ini akan menyampaikan apa yang mau kusampaikan dengan singkat. Ann, aku turut berdukacita. Mungkin beberapa orang menganggapmu berlebihan perihal meninggalnya nenekmu, tapi kamu yang paling sedih, aku yakin. Aku enggak akan bilang ke kamu untuk berhenti sedih.

Aku tau sakitnya enggak bisa diucapkan. Ditinggal untuk selamanya seperti ini, tapi kamu harus tetap lanjutkan kebahagiaanmu, ya? Ann, anggap aku sok tau tapi aku yakin semasa hidup nenek bangga banget sama kamu. Kamu anak baik. Nenek pasti sangat sayang dan berterima kasih sama kamu. Apa pun yang terjadi jangan sampai mikir sebaliknya, ya?

Ann mungkin hidup akan bertambah sulit berkali lipat setelah ini. Tapi jangan lupa bahwa kamu nggak sendirian, ya? At least, aku bisa bilang kalau kamu masih punya aku. Aku masih sangat peduli sama kamu dan aku masih di sini kapan pun kamu butuh. Kayaknya segini aja surat edisi kali ini. Kalau kamu bisa tebak aku siapa, tolong hubungi aku kalau-kalau butuh. Aku juga butuh ngobrol untuk menjelaskan kejadian waktu dulu. Untuk saat ini aku mau beri kamu ruang, tapi jangan lupa kalau aku di sini ada buat kamu. Oh iya, salam dari langit.

Usai sudah tercurah segala perasaannya dalam gurat-gurat tinta tadi. Dengan tangannya yang meremang pegal, ia melipat kertas tersebut dan menjejalkannya di sela-sela buket bunga.

Tak butuh waktu yang terlalu lama untuk sampai di kediaman rumah Ann. Awan dapat merasakan darahnya menuai desir hangat sekaligus dingin kala bangunan yang baru kali kedua ia sawang itu tertangkap kedua mata. Rindunya berkecamuk.

Langkah pertama yang ia jejak terasa goyah, diikuti dengan langkah-langkah berat yang pada akhirnya berhasil membawanya hingga berjarak satu lemparan batu kecil dengan pintu rumah Ann. Sudah seperti making, bahkan maling pun malu melakukan hal itu. Intensi awal Awan memang untuk meninggalkan buket bunga berisi surat di sana. Namun setelah kembali menjejak kaki di kediamannya, rasa rindu mendadak menggerogoti tiap inci tubuh, mendorongnya untuk mengetuk. Benaknya berkecamuk.

KELAKARWhere stories live. Discover now