Presensi

169 81 11
                                    

pre.sen.si /présènsi/

n kehadiran

"Minggu-minggu ini sibuk, nggak?"

"Biasa, rebahan."

"Dasar kebo!"

"Aku Naura."

"Iyaaa. Gimana? Sibuk, nggak?"

"Enggak. Kenapa?"

Mempunyai pekerjaan yang membuat Ann dan Gilang mesti terpaut tempat mengemban mimpi agaknya menjadi suatu kesulitan tersendiri untuk bertemu. Ann dengan kesibukannya, begitu pun Gilang.

Sejak berteman di bangku Sekolah Menengah Pertama, mereka seperti sudah menjadi satu-kesatuan. Bahkan sejak keduanya bekerja di Jakarta. Kalau memiliki waktu senggang, salah satunya akan bertanya terlebih dahulu, lebih tepatnya Gilang yang akan banyak bertanya. Ann pilih untuk menyambangi pekerjaannya di waktu senggang atau sekedar bersua dengannya? Syukur, Ann selalu menyempatkan waktunya. Membuatnya merasa beruntung.

"Ngobrol, yuk, besok setelah pulang kerja. Ntar aku beliin yupi sebanyak yang kamu mau."

"Serius?"

"Iya, ketemu kamu seminggu sekali aja belum tentu, jangan diundur terus. Kangen."

"Kalau aku kangen Kak Awan hahaha."

"Udah dibilangin buat enggak bahas tuh orang," Gilang memang tahu betul perihal Ann dan Awan. Ann bertemu dengannya seminggu sekali saja jarang. Bertemu dengan Awan pasti beda, nggak ketemu satu menit mungkin sudah kangen.

"Bercanda Gilaaangg."

"Btw, how was your day?"

"Ah iyaa, kemarin Ibu telepon."

"Beliau kangen paling."

"Ibu nyuruh pulang dulu. Nenek lagi sakit. Aku belum bisa pulang, soalnya libur cuma sekali seminggu dan perjalanan Jakarta-Yogyakarta kan lumayan makan waktu juga."

"Pulang dulu, kan bisa izin kerjanya. Orang tua tuh biasanya kalau ketemu anaknya walaupun lagi sakit biasanya mendadak sembuh."

"Sakit hati misalnya?"

"Ya Allah, ini anak satu. Pulang aja naik pesawat biar cepat sampai."

"Mahal, oon."

"Bercandaa. Mau aku antar?"

"Gimana nanti aja, deh, nunggu dapat izin dari kantor dulu. Soalnya Ibu khawatir banget, kentara banget dari suaranya."

Kalau sudah begini keadaannya, mesti ditiadakan seluruh alasan yang terangkai dengan begitu apik di dalam benak Ann. Tiada penolakan. Tentang apa yang terjadi di masa lalu, sekarang, atau bahkan hari esok dan selanjutnya. Ia tidak bisa menyalahkan apa dan siapa pun. Seperti halnya tentang kuliah yang diidamkannya. Pernah waktu itu ibunya hanya menghela napas dengan sangat perlahan, menatap presensinya lamat-lamat yang tengah menenggelamkan diri pada buku tebal dengan judul Mengejar Universitas Impian. Bukan soal ekonomi ataupun prestasi. Entah mau bagaimana? Melawan perkataan Ibu saja merupakan satu dari sekian banyak episode kisah hidup yang paling Ann hindari.

Aslinya, Ann memang sedikit pendiam, tabiatnya selalu saja memendam. Namun, Gilang tidak akan pernah menyesal suatu saat untuk mengatakan pada seluruh dunia bahwa ia menaruh harap yang teramat dalam. Segalanya dalam diri Ann itu merupakan anugerah terpendam. Seutuhnya.

Obrolan telepon bersama Ann selalu menjadi mood terbaik. Menceritakan kejadian yang meskipun itu-itu saja, tapi tidak pernah bosan untuk disuarakan. Biasanya Ann dan Gilang hanya akan saling tertawa dan mengoceh hingga kantuk tiba. Is that sleep call? If you know, you know. Enggak, kalau saya enggak tau, enggak pernah.

KELAKARWhere stories live. Discover now