Reaksi

300 122 9
                                    

re.ak.si /réaksi/

n tanggapan (respons) terhadap suatu aksi

Untuk Awan

Kemarin, aku melihat dua awan sekaligus. Keduanya tampak sumringah. Yang satu sedikit melindungiku dari terik matahari. Dan yang satunya, masih belum jelas kebenaran presensinya. Tapi aku tidak ingin menulis tentang kedua awan itu. Aku menulis tentang aku.

Nanti tulisan ini akan ku taruh di botol dan kuminum. Enggak, buang ke laut biar kayak orang-orang. Barangkali ada yang menemukannya dan berniat membaca. Atau bahkan Awan yang menemukannya? Dan awan diatas sana jadi saksi. Haha, mustahil. Untuk paus dan penghuni laut lainnya, nggak boleh baca apalagi menelan botol dan isinya yang tak bernyawa.

Aku menulis ini dengan sejuta harapan tergantung di awan, meskipun hari-hari di masa depan banyak prasangka buruk untuk dilalui, aku akan berusaha tak menolak diriku sendiri untuk merasakannya.

Halo, ini aku. Dirimu yang saat ini sedang tenggelam dalam ego, terpenjara kegelisahan, terikat oleh rasa takut. Ya, aku menulis surat ini untuk memperbaiki diri.

Untuk diriku sendiri, aku tulis sebuah surat agar kamu paham bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan saat ini dan nanti. Aku paham keresahan yang kamu rasakan, bagaimana ketika pertama kali kamu begitu rindu masa kecil tanpa beban. Tanpa beban? Tidak adalah jawaban untuk beberapa anak di luar sana.

Seolah kamu yang paling merasakan luka. Namun bukannya tak mengapa menunjukkan kalau sedang tidak baik-baik saja? Kamu mungkin tidak tahu betapa hati orang di sekitarmu selalu didera rasa sakit tiap kali kamu mengabaikan mereka.

Ya, ibumu terluka tiap kali kamu selalu melontarkan alasan tidak bisa pulang ke kampung halaman.

Begitu juga ayahmu, beliau kecewa ketika ragamu berada di rumah namun pikiranmu terhisap pada layar di ponsel dan kesibukan pekerjaan.

Tidak hanya mereka, adikmu juga sebal ketika harus menghadapi sifatmu yang selalu kekanakan. Tahukah kamu, di usiamu saat ini harusnya kamu bisa menjadi contoh panutan? Tapi entah lah, buat beban pikir saja.

Kamu tidak tahu kapan masa mereka di dunia akan habis, kamu bahkan juga tidak tahu kapan kontrakmu di bumi akan disudahi.

Ya, tidak seharusnya kamu ingin menang sendiri dan mengharuskan setiap orang menuruti segala keinginan. Kamu hanya diberi kehidupan sekali ini saja. Bertemu dengan orang-orang yang selalu membuat hatimu bahagia juga tidak selamanya.

Aku ingin membuat kita tak lagi gemar menang sendiri sekaligus mengingatkan bahwa bumi tidak hanya berputar untukmu saja.

Kamu tahu bahwa Tuhan begitu menyayangimu? Lihat apa yang kamu miliki saat ini? Lihat apa yang tidak orang lain miliki darimu. Ayo bersyukurlah. Sedikit pun tak apa.

Untukku, aku minta maaf. Aku minta maaf karena kamu sudah berusaha keras memperbaiki orang lain ketika tanganmu sendiri tengah gemetar.

Maafkan aku, tidak meluangkan waktu untuk membuat dirimu sembuh dari pikiran-pikiran buruk saat malam. Maafkan aku sudah memaksakanmu untuk tersenyum ketika dirimu tengah menahan sakit di dalam sana.

Dan maaf, aku pernah membiarkan orang lain memperlakukanmu dengan buruk. Kamu berhak dicintai, kamu layak untuk dihargai. Kamu adalah orang yang hebat, kamu sudah melakukan semuanya dengan begitu baik. Jika lelah, beristirahat saja terlebih dahulu. Setidaknya, tersenyumlah meskipun hari-hari yang kamu lalui begitu berat.

Kamu sudah bertahan hingga saat ini, kamu mampu berdiri sendiri. Terima kasih. Suatu hari senang datang, nikmati saja. Tapi, suatu hari sedih akan lebih berkesan, tetap nikmati.

Ann

Bibir Awan kelu. Ia tak menyangka dengan apa yang baru saja ia baca. Sewaktu di Gramedia bersama Ann, ia mengira kertas terlipat yang diambilnya di buku Ann hanyalah kertas biasa yang mungkin akan dibuang. Apakah Awan yang dimaksud itu dirinya?

***

Hari Minggu adalah hari di mana orang-orang biasanya menggunakan waktunya untuk menyenangkan diri sekedar keluar rumah. Apa cuma Ann yang enggak pernah main keluar? Hanya rebahan. Iya, cuma Ann. Ya, bukan Ann kalau tidak rebahan di kos. Jemarinya hanya bermain dengan ponselnya. Melihat-lihat akun sosial medianya, kembali ke menu, matikan ponsel. Melihat-lihat lagi, terulang berkali-kali sampai Ironman jadi iron doang. Berlebih sudah lelah bekerja, seolah menghibur diri dengan hal-hal yang baginya asing pun malas.

Akhirnya ada beberapa pesan WhatsApp yang masuk juga. Kurir online shop ternyata. Membosankan, isinya hanya obrolan grup.

085678910xxx : Halo, kami kurir yang akan mengantarkan pesanan Anda. Tolong berikan ancer-ancer..

Gilang: Main, yuk, ada buku baru.

Kak Awan: Ntar sore ke pantai, yuk? Share location, aku jemput habis asar!

Apa itu? Nomor Awan disimpan lagi?

"Apaan nih main jemput segala, dikira anak TK main lupa waktu!" Ann meracau, mengobrol dengan tembok.

"Main aja sama Gilang. Nggak usah berharap lagi sama Awan," begitulah kira-kira Ann mendapat jawaban dari sang tembok.

Akhirnya Ann memutuskan pergi bersama Gilang. Gemilang Aksa Santana, panggilannya Gilang. Namun, kadang Ann memanggilnya Aksa. Teman Ann sedari kecil. Ia juga merantau kerja di Jakarta. Tempat tinggalnya memang tidak terlalu jauh dari kos Ann. Perhitungan orangnya, gemar menawarkan makanan dan minuman kepada Ann lalu dibelikan, tapi dicatat! Iya, uangnya harus diganti. Gilang juga pesuruh, gemar meminta Ann untuk menemaninya bermain futsal alias dijadikan babu. Namun, Gilang sudah seperti kakak lelaki bagi Ann, selalu ada dan menjaga.

Lagipula ngapain juga pergi dengan Awan? Baru saja kemarin-kemarin berduaan dengan obrolan yang kaku. Tidak, Ann tidak mau mengulanginya.

Sorenya pun Ann sudah mendapati Gilang di depan kos. Datang tak diantar, pulang tak dijemput. Kebalik iya, kenapa?

"Maaf, aku mendadak ingin sekali menjaga bantal bekas peperangan kerajaan Majapahit. Takutnya dicuri sama oknum tak bertanggung jawab. Saudara Gilang dimohon untuk pergi."

"Bukannya oknumnya harusnya mencuri hatimu, ya?"

"Boleh, sih. Lumayan buat konten."

"Malas, ayo cepet aku lagi nggak menerima penolakan."

"Aku belum siap-siap. Lagian aku nggak ada ngasih penolakan, terima dari siapa kamu?"

"Halah, udah ganti pakaian aja tinggal pakai hijab wes."

"Mandi dulu bentar."

"Nggak usah mandi."

"Bentar doang, dua jam paling."

"Masuk sana, langsung ganti pakaian aja!" Ia geram melihat tingkah Ann yang masih mengenakan baju tidurnya. Gadisnya begitu cerewet. Gadisnya? Untung orang, kalau cokelat sudah ia lahap.

"Iyaaa, tunggu bentar."

Gilang menghela napasnya. Ia jarang bertatap muka dengan Ann. Ingin sekali ia membungkus Ann hidup-hidup dengan karung untuk dibawa pulang agar tidak ke mana-mana. Tidak jauh darinya.

Sedangkan dari kejauhan, Awan hanya memandangi dua insan yang terlihat begitu asyik mengobrol. Ya, Awan tetaplah Awan. Si cowok yang terlihat santai namun kadang mendadak keras kepala kalau berurusan dengan keinginannya. Awan sempat menanyakan alamat kos Ann kepada Riqa, karena Ann sama sekali tak membaca pesannya. Tapi yang dilihat malah pemandangan seperti tadi. Ia menanggapinya biasa saja, tidak mungkin juga kalau Ann tidak mempunyai teman lelaki. Lagian dia ini siapanya?

KELAKARWhere stories live. Discover now