Aklimatisasi

45 3 0
                                    

ak·li·ma·ti·sa·si

n 1 penyesuaian (diri) dengan iklim, lingkungan, kondisi, atau suasana baru;

Ini masih bercerita tentang pilu sembilu. Mengenai segala macam goresan penuh tirta yang menyambangi hari-hari berlalu. Bercerita pada bayang-bayang yang menjelma impian dalam malam. Taklukkan segala macam stigma yang buat perih sanubari di dalam. Tak peduli perihal omongan mereka yang katakan bahwa aku tiada pantas bertahan. Namun satu fakta di lapangan kembali membuatku tertampar oleh keadaan. Persona yang buat semestanya hancur. Dimana orang-orang yang disayang, perlahan pergi dan menghilang.

Paa, masihkah dirimu miliki presensi? Haruskah aku yang memulai semuanya dari awal? Aku tahu engkau jauh lebih lelah, sudah banyak berjuang untuk semuanya. Tapi kenapa engkau berbeda? Aku dan orang lain sama-sama berada dalam kandungan selama sembilan bulan, tapi kenapa setelah lahir takdirku berbeda? Kenapa mereka sebahagia itu? Atau karena mereka pandai menyembunyikan luka? Atau tetap full senyum walaupun aslinya ambyar?

Aku bahkan enggak pernah dapat dukungan darimu untuk mengucapkan setidaknya aku tetap hidup. Aku bahkan belum siap jika harus hidup sendirian di luar sana. Tapi, di rumah saja aku tidak merasakan kenyamanan yang disebabkan olehmu. Aku tidak pernah tahu akan hal itu. Kalau kau masih bisa mendengar bisikku, aku mau kau paham satu hal, berhenti menjadi egosentris.

Menghempas bumi yang acap kali tidak hiraukan teriakan. Mengadu nasib bersanding sejawat pilu sembilu yang buat semestaku berantakan. Aku bosan merasa aku yang menjadi juara derita, padahal banyak derita di luar sana yang mungkin tidak ikut berlomba. Kita tidak pernah tau siapa pemenangnya. Aku, bukan satu-satunya. Kalau ditanya siapa mereka yang tak kunjung usai aku sebutkan dalam cerita, adalah pikiran-pikiran buruk beserta seluruh omongan kurang ajar orang lain. Memupuknya dalam, membuatku meretas hingga melampaui batas.

Berusaha untuk mengabaikan segalanya. Kendati diri dibuat terbangun hampir setiap tengah malam hanya untuk mengalami mimpi buruk yang rasanya teramat panjang. Sesungguhnya tak ada yang lebih menyiksa dari tangis yang dibiarkan terhimpit bantal. Katanya, itu rumah. Namun mengapa justru resah? Teriaknya, mesti singgah. Bahkan hela napas di sana pun lelah. Sedikit beruntung, kamu bukan satu-satunya yang seperti itu, kan?

Membuka pintu rumah tidak pernah menjadi kesenangan bagi diriku. Apa-apa yang terjadi atas bangunan megah nan mewah yang berdiri kokoh di salah satu kompleks ternama milik Jakarta Selatan itu memiliki banyak guratan kelam yang aku sendiri berusaha tidak peduli.
Bukan.
Aku, bukan satu-satunya.

Aku tidak akan pernah menjadi satu-satunya di sini. Namun, aku bisa apa? Hanya berteriak pada dinding kamar. Menghantamkan buku-buku tangan pada cermin lemari hingga berdarah secara keseluruhan. Aku, hanya bisa melakukan itu. Selebihnya aku hanya boneka. Boneka yang dipaksa untuk tetap diam. Aku berusaha untuk selalu tersadar kalau di sini ada yang perlu dibenarkan. Tetapi aku lagi-lagi tertikam.

Berdinding rasa bersalah dengan cat kecewa. Aku selalu dikurung oleh hal semacam itu hampir setiap detik. Jangan hanya karena air mata jarang menetes, bukan berarti sudah terbiasa. Tidak akan pernah, hanya terlampau lelah untuk sekedar mengeluarkan tirta.

Jiwa ini kerap kali mati rasa. Mereka semua mengatakan dengan beramai-ramai tepat pada rungu, obstruen itu menggema sampai rasanya ingin mati. Seolah memang tidak pernah diinginkan oleh siapa pun. Berdiri secara tunggal dan berharap setiap malam agar kepala segera terpenggal. Agar tak perlu aku merasakan diri terperangkap pada penjara semu yang diciptakan oleh ilusi.

KELAKARWhere stories live. Discover now