Tadi aku tidak memberitahunya untuk pulang sama-sama. Dalila pasti paham, karena setiap hari kita selalu pulang bersama tanpa ku bilang. Tapi setibanya di kelas Dalila, kelasnya hampir kosong—kursi gadis itu juga sudah diatur rapi.

"Dalila mana?" tanyaku pada teman sebangkunya, Farah.

"Udah pulang duluan," jawab gadis itu.

...

DALILA

"Aku sibuk banget lho semester ini. Ngurus buletin sekolah untuk tahun ini, ada banyak PR karena udah kelas 12. Pokoknya nggak ada waktu luang buat bersih-bersih kamar," jelasku. Meskipun aku punya Bi Nunung yang menemaniku, selalu siap siaga menyediakan makanan untukku, membersihkan rumah dengan rutin—kecuali kamarku. Barang-barangku di kamar tentu aku yang urus. Hasilnya tiba-tiba orangtuaku datang tanpa ku ketahui, bahkan mereka menjemputku di sekolah dan langsung membawaku makan sama-sama, pas pulang ke rumah langsung disuruh rapihin kamar.

"Kalau kamar kamu enak dipandang, masa depan kamu juga bakal enak dipandang." Mamaku paling jago bikin kutipan. Sambil memutar lagu Hyukoh yang berujudul Love Ya! aku merapikan tempat tidurku. Sebenarnya lebih cocok jika lagu yang kuputar adalah bangun tidur ku terus mandi, tidak lupa menggosok gigi, habis mandi ku tolong Ibu membersihkan tempat tidurku—tetapi aku tidak punya lagu itu di playlist ponselku.

Setelah banyak berbincang-bincang tadi, tenyata orangtuaku ke sini karena sedang mengurus sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. Ayahku akan rolling lagi, kalau sekarang di Canberra, sebentar lagi akan pindah entah ke mana. Makanya kata mereka aku akan diajak ke sana—mumpung ayahku masih menjabat di sana, walau tidak ada hari libur panjang mereka akan membuat surat izin ke sekolah untuk beberapa hari saja. Sayang sekali aku baru sekali ke Canberra, mumpung orangtuaku masih di sana aku ingin jalan-jalan ke beberapa tempat yang belum sempat kukunjungi tempo lalu. Tapi nanti, bukan hari ini.

Karena itu aku bersihin kamar mulai dari sekarang, tidak lama lagi akan terima rapot. Habis itu ada Sabtu dan Minggu yang memang hari libur. Aku juga akan izin sekitar 3 hari. Karena jalan-jalan sudah di depan mata, aku jadi semangat membersihkan kamar ini. Boneka-boneka koleksiku yang ada di atas lemari sudah berdebu karena ku simpan sudah sangat lama, mau dibuang sayang, jadi disimpan saja sampai jadi sarang laba-laba.

Setelah bergulat dengan sikat dan detergen, sisa satu boneka yang belum kucuci. Boneka Stitch berwarna biru itu ku sikat hingga bersih, tidak lupa ku peras hingga airnya hilang. Lalu boneka itu ku gantung di halaman depan rumah, sebelumnya sudah ku buat tali untuk menggantung boneka-boneka itu. Ujung tali itu kuikat dari sebuah pohon, dan ujung lainnya lagi kuikat ke tiang balkon rumah. Jemuran di belakang sudah penuh dipakai jemur seprai.

"Selesai!" Aku berseru senang setelah menggantung boneka terakhir itu. Kalau ada tamu sepertinya mereka akan mengira aku sedang membuat pameran boneka kali. Bonekanya berjajar rapi dari ujung ke ujung.

Saking banyak yang harus kukerjakan, kubuat list kegiatanku.

Bersih-bersih kamar ceklist.

Ganti seprai ceklist.

Rapihin baju-baju di lemari ceklist.

Sekarang tinggal mandi dan menyiapkan baju di koper. Masih tiga hari lagi, tapi lebih baik menyiapkannya dari jauh-jauh hari.

Tok! Tok! Tok!

Pintu kamarku terbuka. "Neng, ada tamu," kata Bi Nunung.

...

MERDEKA

"Selamat sore Om."

Tinggi besar, pakai kacamata kotak, rambutnya disisir rapih walau sedikit botak, punya kumis tebal, jenggot tipis, tatapan menyelidik. Pasti ayahnya Dalila. Pria paru baya itu menyuruhku masuk. Aku juga langsung dipersilakan duduk. Kini aku harus duduk berdua bersamanya di ruang tamu sambil menungu Bi Nunung memanggil anaknya Bapak ini. Kenapa jantungku jadi berdetak lebih kencang saat duduk bersama Bapak ini dari pada duduk bersama anaknya.

Ayahnya Dalila memberikan beberapa pertanyaan padaku. Sebelumnya aku sudah memperkenalkan diri kalau aku temannya Dalila di sekolah. Dia juga bertanya aku tinggal di mana, teman sekelas atau bukan, kenal Bara atau tidak, bagaimana ujianku tadi. Banyak sekali pertanyaannya. Aku tahu semua pertanyaannya itu mengorek informasi tentangku. Bagaimana cara aku bisa mengenal anaknya. Seperti apa circle pertemananku. Nilai-nilai yang kudapat di sekolah bagus atau tidak.

Lima menitku dihabiskan bersama dengan ayahnya Dalila yang ternyata bekerja sebagai Duta Besar Indonesia di Canberra. Ayahnya pasti lancar bahasa Inggris tetapi anaknya sama sekali tidak tertular bakat itu. Tapi sebenarnya Dalila itu pintar dan banyak akal, perlu diasah sedikit saja pasti jadi orang sukses.

"Jadi setelah lulus rencananya mau ke mana?"

Pertanyaan itu, aku sendiri masih bimbang. Tetapi kemungkinan besar aku akan terjun ke dunia yang sama dengan orangtuaku. Aku menjelaskan pada ayahnya Dalila kalau aku akan belajar di bidang konstruksi untuk meneruskan pekerjaan orangtuaku. Aku tidak perlu bilang kalau orangtuaku menjalankan perusahaan konstruksi, cukup ku bilang saja kalau ayahku mengerjakan proyek pembangunan bendungan Bendo di Ponorogo. Aku tidak mau pamer, tetapi terkadang orangtua ingin anaknya bertemu dengan seseorang yang jelas asal usulnya. Aku juga ingin mengenalkan asal usulku pada mereka, agar orangtuanya Dalila dapat percaya padaku. Apalagi aku dapat melihat kalau ayahnya itu sangat selektif. Maklum saja Dalila anak sematawayang mereka. Anak mahal.

Akhirnya yang ditunggu datang juga. "Oh, Merdeka. Papa udah kenalan kan?" tanya gadis itu pada ayahnya. Ternyata bukan hanya aku saja yang malu-malu, gadis itu juga malu-malu memperkenalkan aku pada orangtuanya. Padahal katanya dia sudah pernah pacaran. Tetapi seperti baru pertama kali mengenalkan teman pria pada orangtuanya.

Begitu Dalila datang, ayahnya memberikan kami privasi. Kata ayahnya Dalila, "santai saja, Om juga pernah muda."

"Habis ditanyain apa aja?" tanya gadis itu penasaran. Dia tidak tahu kalau aku habis diinterogasi. Aku menjelaskan apa yang terjadi. Tapi aku tetap bertingkah baik-baik saja, it's okay, itu normal saat bertamu ke rumah perempuan.

Ada yang mengundang perhatianku. Saat aku masuk ke rumahnya, di halaman rumah gadis itu ada banyak boneka yang digantung. Normalnya boneka digantung rapi, kedua tangan diikat simetris. Tapi kali ini bonekanya malah diikat di leher—seperti lagi gantung diri.

"Kenapa bonekanya digantung kayak gitu?" tanyaku menunjuk boneka biru yang terlihat mengenaskan.

"Biar sama kayak status aku yang kamu gantung."

Sekali Merdeka Tetap MerdekaHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin