Chapter 25

21.7K 2.5K 209
                                    

MERDEKA

Yang kulakukan saat ini bukan olahraga, tapi menyalurkan hobi. Hari ini aku dan teman-teman sekelasku bermain basket. Ada tiga pemain basket di kelas kami, sehingga grup dibagi tidak imbang. Bara dan Kevin satu tim, sementara aku sendirian. Tidak masalah bagiku, karena Kevin gampang kubodohi. Dia tidak bisa membaca arah operanku, sedangkan Bara? Hmm dia cenayang. Aku sedikit ragu. Bara mem-blockingku, dia menghalangi langkahku yang ingin meloloskan diri lewat sebelah kanan.

"Kalau lo bisa lolos, nanti gue kasih nomor telpon bokapnya Dalila," kata Bara. Aku menerima tantangannya.

Sengaja mataku kulirikkan ke sebelah kiri, kemudian saat dia ikut memperhatikan ke arah sana kumanfaatku peluang ini untuk meloloskan diri. Berhasil, bola yang kupegang ku oper pada rekan satu tim ku. Bara langsung mengejar bola itu, tetapi sebelum Bara berhasil merebut bola, temanku itu kembali mengoper bola padaku. Langsung saja ku tangkap dan ku cetak tiga poin tambahan.

"Kelar ini langsung kirim ke WhatsApp gue," kataku pada Bara.

Bara mencegat tanganku, kemudian bertanya, "serius? Mau ngapain?"

"Minta restu."

Dia pikir mau ngapain lagi. Tadi dia yang menantangku. Terus aku menang. Dia harus tepati janjinya. Lagi pula juga kalau aku punya nomor telepon ayahnya Dalila akan lebih bagus. Untuk berjaga-jaga jika nanti terjadi sesuatu. Kalau pun terjadi sesuatu aku gampang menghubungi keluarganya. Namun aku tidak minta-minta jika terjadi sesuatu, antisipasi saja. Aku tidak seburuk itu untuk berdoa agar gadis itu kena bencana agar nanti saat aku menolong dan menghubungi orangtuanya aku terlihat keren dihadapan mereka.

"Oh iya, semalem ngapain aja sama Dalila? Chat yang gue kirim semalam malah baru lo bales tadi pagi." Bara mulai kepo. Kumanfaatkan kelengahannya ini dengan memberi kode ke arah teman setimku.

Bola berhasil berada di tanganku. Selalu saja Bara yang menghalangi langkahku. Mereka menggunakan strategi man to man.

"Chat-an doang, baru mau gue telpon tapi datang pengganggu satu lagi." Padahal Dalila sudah setuju mau ku telepon. Tiba-tiba Isabella datang dan langsung curhat tentang surat cinta yang dia dapat. Dia bilang surat cinta yang dia dapat hari ini lebih seperti undangan dari pemerintah desa. Akhirnya aku gagal teleponan dengan Dalila. Isabella juga berkata yang berikan surat itu adalah Dalila. Isabella menyuruhku untuk bertanya pada Dalila dari mana dia mendapatkan surat itu. Soalnya Dalila tidak mau memberitahu Isabella. Dalila bersikeras biar pengirimnya sendiri yang menunjukkan diri agar terlihat gentle.

Bara merebut bola yang berada di tanganku, tapi sayangnya aku lebih cepat menghindar."Pantesan. Tahu begitu nggak usah gue kenalin kalian berdua," kata Bara kesal. Dia merasa diduakan setelah aku dan Dalila jadi lebih dekat.

Iyalah, untuk sekarang gebetan nomor satu. Sahabat? satu setengah.

Aku terkekeh, kemudian ku sodorkan bola itu padanya.

"Thanks," ucapku tulus. Ini caraku berterima kasih padanya karena sudah mengenalkan gadis itu padaku. Bara menerima bola itu dengan senang hati.

...

DALILA

Biasanya adik kelas akan malu-malu masuk ke kelas kakak tingkat. Beda dengan yang satu ini. Dari tadi dia membujukku untuk buka mulut. Padahal sudah ku katakan kalau surat yang kuberikan padanya itu kutemukan di lantai. Aku tidak tahu siapa pengirimnya. Hanya karena di amplop depan tertulis untuk Isabella Hardiansyah, aku kenal siapa Isabella itu, makanya kuberikan pada Isabella.

Sekali Merdeka Tetap MerdekaWhere stories live. Discover now