Chapter 19

22.7K 2.6K 123
                                    

DALILA

Speachless. Yang tidak diundang datang tiba-tiba. Aku jadi kasihan pada Ibra. Dia terlihat seperti orang yang bersalah saat ini. Lagi pula aku cukup heran pada Merdeka, datang-datang langsung banyak tanya. Rasanya seperti diinterogasi.

"Di sebelah mana tempatnya?" tanya Merdeka. Sepertinya dia ingin mengetahui letak rumah makan yang dimaksud Ibra. Padahal tadi Ibra sudah mengirim share location padanya.

"Kan tadi Ibra udah ngirim maps-nya. Coba cek ponsel kamu," kataku geregetan. Merdeka membuat driver taksi kami menunggu. Aku tidak enak pada Bapak itu.

"Ribet," jawab Merdeka. Aku jadi geregetan sendiri lihat kelakuannya. Merdeka itu seperti sedang mengulur-ngulur waktu.

Di tengah kekesalanku Bara datang menolong. Dia selalu datang tepat waktu bagaikan pahlawan yang tidak datang kesiangan.

"Bara, ajarin Merdeka baca maps gih," kataku kemudian melambaikan tangan pada mereka berdua. Aku dan Ibra segera naik ke dalam mobil dan meninggalkan mereka.

Mobil berjalan. Aku menatap kaca spion, melihat Merdeka yang masih menatap mobil ini bergerak. Tiba-tiba suara Ibra membuyarkan lamunanku.

"Deka kayaknya marah," kata Ibra. Aku menggeleng.

"Nggak tuh. Nada bicaranya nggak ada yang melengking," kataku.

"Dia marah ke aku, wajahnya nggak nyantai," kata Ibra meringis. Aku mengingat kembali wajah Merdeka tadi. Wajahnya memang seperti itu dari dulu. Melihat wajah meyakinkan Ibra membuatku percaya jika Merdeka memang marah.

Ohooo tidakkkk! Aku jadi banyak berharap kalau Merdeka cemburu pada Ibra!

Kini aku sangat yakin, tapi malu mengakuinya. Aku takut kalau Merdeka tidak menaruh perasaan padaku setelah aku mendeklarasikan kecemburuannya itu. Aku yang bakalan malu. Aku butuh pengakuan dari orang lain, mungkin Ibra bisa memperkuat keyakinanku.

"Ibra, menurut kamu si Merdeka suka sama aku?" Hanya ada aku, Ibra, pak driver, dan Tuhan yang mendengar pembicaraan ini. Tidak masalah untuk bertanya pada Ibra, ketimbang menanyakan hal ini pada Bara yang terlalu sering bermain.

"Kayaknya sih iya," jawab Ibra. Aku lebih yakin jika bertanya pada laki-laki. Mereka lebih meyakinkan, karena Ibra dan Merdeka sama-sama lelaki, mereka lebih paham seperti apa jika laki-laki suka pada seorang perempuan, apakah mereka cemburu, dan lain-lain. Jawaban Ibra membuatku semakin yakin.

...

Aku makan sampai kenyang. Ibra tidak tanggung-tanggung mentraktirku. Lain kali aku mau kena tendang lagi—asalkan tidak sakit. Tapi bohong. Mana ada yang mau kena tendang kepalanya demi ditraktir makan.

"Mau nambah?" tawar Ibra. Perutku tidak bisa melar lagi. Aku menolak tawaran itu dengan sebuah kata terima kasih.

Tempat makan kami memang nyaman, ramai pula, aku jadi penasaran apakah Merdeka akan menyusul kami kemari. Tadi Merdeka banyak bertanya pada Ibra, bahkan sudah dikirim lokasinya. Sejak awal aku tiba di sini mataku mencari lihat siapa saja yang baru masuk ke dalam restoran, apakah Merdeka akan datang. Tetapi hingga piringku bersih dia tidak kunjung datang. Rupanya Merdeka tidak seperti cowok di drama-drama yang tiba-tiba muncul di hadapanku.

"Aku pikir kalian udah pacaran, ternyata masih pdkt." Pdkt katanya? Aku malu karena Ibra membahas tentang hubunganku dan Merdeka. Tapi dibilang pdkt juga agak gimana yaa ... aku dan Merdeka Masih jauh dari tahap pdkt. Kita berdua masih sangat canggung dan cara dia mengajakku jalan juga sedikit aneh. Mungki akan kuanggap saja pra-pdkt. Bahkan rencana kita berdua untuk nonton di bioskop juga batal, aku malah menemaninya ke rumah sakit.

Sekali Merdeka Tetap MerdekaWhere stories live. Discover now