Chapter 6

29.3K 3.2K 135
                                    

DALILA

Biologi, salah satu pelajaran favorit semua siswa terutama tentang organ reproduksi. Mungkin semuanya excited karena mereka sedang dalam masa pubertas. Perempuan mulai bersikap lebih protektif dengan keberadaan lawan jenis. Begitu juga anak-anak lelakinya Adam, wahai kalian calon kepala rumah tangga belajarlah lebih serius mulai dari sekarang.

"Bumba ... bumba ... bumba ...," gumamku membuat irama saat Bu guru menarik garis di papan, jadi ceritanya Bu guru sedang menjelaskan proses bertemunya sel sperma dan sel ovum. Tidak ada yang namanya clbk, yang ada para lelaki berebutan untuk menjadi yang terakhir bersama mempelai wanita.

"Hush, diem," kata Farah. Aku memang sedikit berisik, tetapi bukan hanya aku yang berisik. Para anak laki-laki di kelas jelas sedang tertawa.

"Buka halaman berikut," kata Bu guru.

Kuperhatikan buku yang kupinjam ini sangat bersih. Ada coretan tetapi hanya sebatas garis yang disengaja. Bukunya bersih, tidak lecet sedikit pun, dan tidak ada lipatan. Padahal ini buku anak laki-laki, you know-lah mereka seperti apa. Bukannya aku mengejek kaum mereka, hanya fakta yang sering kita temui seperti itu. Buku tulis saja digulung kemudian ditaruh di dalam saku celana. Yep, walau tidak semuanya model begitu.

"Merdeka Hardiansyah," aku membaca nama yang tertulis di bagian depan. Tulisannya tegak bersambung. Rapi banget. Iseng ku cek lembar belakang buku cetaknya. Biasanya siswa-siswi sering meninggalkan coretan di sana—termasuk aku.

"Ini serigala atau guguk?" gumamku. Ada gambar kepala hewan yang belum kelar digambar. Antara dua itu, serigala atau guguk. Lehernya belum selesai diarsir. Selain itu ada juga gambar doodle di pojok bawah kertas. Monster kribo, gurita yang imut, ulat bulu raksasa. Selera anak cowok banget.

Mataku terfokus pada sesuatu yang tidak dihapus. Sebuah catatan kecil. Aku mencoba membaca tulisan itu.

Susah ih susahhh, batinku. Namanya bikin nambah kerjaan saja jika mencoba membaca tulisan suram itu. Tegak bersambung, dihapus kasar, tidak terbaca pula.

...

Setelah kelas Biologi selesai, aku langsung pergi ke kelas Bara untuk mengembalikan buku cetak teman sebangkunya itu. Aku celingukan mencari mereka berdua, tetapi mereka tidak ada.

"Kevin," panggilku pada Kevin yang berdiri di depan meja Deka. Kevin anak tim basket, aku kenal dia setelah sekian kali pertemuan dengannya di lapangan.

"Dua sejoli kemana?" yang kumaksud Bara dan Deka.

"Ke kantin mungkin," jawab Kevin.

Tidak heran Bara dan Merdeka menghilang begitu cepat. Sekarang sudah jam istirahat. Lagi pula aku juga lapar. Akan ada bunyi 'ninu ninu ninu' suara ambulans datang menjemputku kalau aku sekarat karena tidak makan. Langsung saja aku pergi menyusul mereka ke kantin.

Kantin sekolah kami besar, tidak akan desak-desakan untuk makan di sana. Aku mencari keberada mereka di kantin, tentunya aku juga membawa buku cetak Merdeka. Kutolehkan kepalaku ke penjuru kantin. Ketemu, batinku. Mereka duduk di deretan tengah kantin.

"Tadi aku ke kelas kalian, eh ternyata kalian malah udah makan di sini," kataku begitu tiba di meja makan mereka. Aku langsung ikutan duduk di sebelah Bara. Tak lama Ibu kantin datang membawa semangkuk bakso dan nasi goreng milik mereka. Aku jadi makin lapar.

"Minta," aku menyicipi mangkuk bakso itu. Cukup sekali telan untukku.

"Eh—itu punyanya Deka," kata Bara. Terlambat. Baksonya udah kutelan.

Sekali Merdeka Tetap MerdekaOn viuen les histories. Descobreix ara