Chapter 8

27.1K 3K 98
                                    

DALILA

"Serius ini rumah kamu? Gede banget. Parkirannya bisa dijadiin parkiran kontainer," cerocosku. Bangunan putih menjulang di daerah perumahan elit, tidak terlihat seperti istana presiden sih tetapi lebih ke rumah modern. Aku juga ingin punya rumah di daerah ini, cukup rumah kecil tapi halamannya harus luas. Tapi sekarang harga tanah di ibu kota mahal—jadi kuurungkan niat itu.

"Mau masuk?" ajak Merdeka. Sudah malam, aku harus segera balik ke rumah. Kurasa Bara juga berpikir begitu. Bara sekalinya sudah janji tidak akan lewat dari jam 10 malam berarti 5 menit sebelumnya sudah ada di rumah. Dia sangat disiplin dengan waktu, rambutnya tidak pernah terlihat urak-urakan dan selalu dipotong cepak, pakaian untuk besok sudah siap dari malam hari, jika sepatunya kotor hari itu juga langsung dicuci, kasurnya juga dirapikan tanpa seprai yang terlipat atau longgar—pokoknya terpasang ngepres. sesuai didikan papanya yang seorang tentara. Walau begitu aku tidak pernah melihat Bara diwajibkan baris berbaris untuk masuk ke rumahnya.

"Lain kali aja deh," tolak Bara.

Setelah melambaikan tangan—dadah-dadahan pada pria itu, mobil kami pun melaju pergi. Selama perjalanan pulang aku jadi kepikiran tentang Merdeka. Dia tidak seperti yang ku bayangkan. Sebenarnya dia nice, hanya luarannya saja yang sedikit menjengkelkan. Aku sempat speechless saat dia mau membantuku mendorong troli, mencari beberapa barang yang kubutuhkan, bahkan mulai banyak bertanya padaku. Akhirnya kita akur juga.

"Kalian udah nggak berantem lagi?" Bara membuyarkan lamunanku.

"Yep, emangnya kenapa?" tanyaku.

"Seru aja lihat kalian suka berantem."

Hampir lupa! Sejak kapan aku dan Merdeka bertengkar? Sebenarnya kami tidak bertengkar, hanya sedikit perselisihan saja. Akhir-akhir ini situasi antara aku dan Merdeka memang lebih damai dari biasanya.

Mobil Bara terparkir sempurna di garasi sebelum jam 10 malam—dia tepat waktu. Kemudian Bara membantuku membawa belanjaan ke rumahku. Sebenarnya tinggal jalan sedikit karena rumah kami memang bersebelahan, hanya saja belanjaanku banyak dan tidak mungkin untuk kuangkat sendirian.

"Berat nggak? Sini aku yang bawain," tawarnya untuk membawa beberapa kantong plastik dari tanganku.

"Ciee, lagi masang mode pacar-able nih?" godaku.

"Aku juga nggak mau kalah dari Deka."

Huft, tatapan Bara membuatku jengkel. Dia sengaja mau menggodaku. Aku bahkan tidak ingat apa yang Merdeka lakuin tadi? Bertingkah pacar-able yang seperti apa? Menurutku tidak ada yang spesial di antara kami berdua. Hanya kegiatan tolong menolong yang wajib dilakukan semua rakyat Indonesia.

Karena ku pikir Bara cuma bicara iseng, jadi aku memilih untuk mengabaikannya. Ku buka pintu rumah yang tidak kunci oleh Bi Nunung, Bara pun ikutan masuk ke dalam. Tiba-tiba suaranya membuatku terhenti.

"Aku udah pernah cerita nggak sih, dulu aku pernah mau ngejodohin kalian." Aku suka topik seperti ini. Aku pun mengambil posisi di sofa setelah buru-buru menaruh plastik belanjaan di dapur yang akan Bi Nunung rapikan. Kemudian aku menepuk tempat kosong di sebelahku, menyuruh Bara untuk duduk.

"Ceritain lebih lengkap," titahku.

Bara menggeleng. "Aku belum nyetrika baju buat besok," katanya.

"Bentar doang, hm?" pintaku berpura-pura manis di hadapannya.

Akhirnya Bara mengangguk, dia pun mulai bercerita. Bara berkata kalau dia kasihan atas kesendirianku—aku sempat tertohok karena dibilang tidak laku. Bara punya ide untuk mengenalkanku pada Merdeka—yang katanya sama-sama terlihat menyedihkan. Menurut Bara, sifatku dan sifat Merdeka bisa saling menutupi.

Sekali Merdeka Tetap MerdekaWhere stories live. Discover now