Chapter 32

24.1K 2.7K 185
                                    

MERDEKA

Bu guru membagikan lembar ujian. Suasana kelas sangat tenang, kalau saja gurunya bersahabat pasti saat lembar dibagikan murid-murid akan heboh melihat soal di sana, tetapi karena Bu guru yang satu ini sedikit sensi, semuanya duduk tenang.

Walau di awal mulai ujian jam pertama aku sudah berdoa, kini aku juga berdoa lagi. Doa yang tadi untuk ujian Fisika, sekarang untuk Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memang bahasa keseharianku, namun jangan kira aku bisa mengerjakan ujian ini sambil tutup mata—yang ada malah tidak kelihatan. Aku tidak menganggap remeh Bahasa Indonesia, tatanan bahasa yang kugunakan sehari-hari dan cara bicara sehari-hariku tidak sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kata-kata kiasan, pantun, puisi, cerita pendek dan lain-lainnya tidak bisa kupahami dengan mudah jika hanya sekali baca. Intinya aku masih perlu belajar walaupun yang diujiankan bahasaku sendiri.

Aku membaca baik-baik teks cerita untuk soal nomor 1 sampai 5, sebelumnya aku sudah membaca lebih dulu pertanyaannya. Setidaknya aku harus mendapatkan nilai 80. Walaupun hanya ujian tengah semester, tapi tetap saja ada rapotnya. Jika anak, cucu, cece, dan cicitku kelak melihat rapot ini, mau taruh di mana mukaku sebagai leluhur mereka jika nilaiku jelek.

Ada satu penggalan teks cerita sejarah yang mengundang perhatianku "di antara para Ibu Ratu yang terpukul hatinya" aku kurang paham Ibu Ratu yang dimaksud itu memang Ibu dari Ratu atau agar terdengar sopan dan membuat kecoh pembaca, Ratu ditulis Ibu Ratu. Mau Ratu atau Ibunya si Ratu kenapa bisa terpukul hatinya padahal hidup bahagia di kerajaan. Karena aku lahir di era lo-gue, tidak hafal nama satu komplek, naik kereta baja, pengen cepat sampai harus keluar duit tol, kehidupan di kerajaan tidak bisa ku bayangkan akan seperti apa.

Beberapa temanku mulai maju ke depan mengumpulkan lembar jawabannya. Aku segera mengikuti mereka. Tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku dengan suara setengah berbisik, Bara. "Arti 'terpukul hatinya' itu apa?" tanya Bara.

Tadi aku juga berpikir lama di situ. Jawabannya mengecoh. Kecewa, muram, sedih, berduka, atau menderita. Aku memilih jawaban sesuai dari bahasa kalbu ku saja.

"Tanya Bapak lo," kataku yang berlalu pergi.

Samar-samar aku dapat mendengar gerutuan Bara. "Sedih gue wehhhh, satu nomor lagi."

Sudah banyak mata pelajaran yang diujiankan sejak beberapa hari lalu, dan ujianku barusan—Bahasa Indonesia adalah yang terakhir. Setelah mengumpulkan lembar ujian, aku hanya ingin bilang, "yes!"

Tunggu beberapa hari lagi setelah itu terima rapot. Habis terima rapot ada liburan, meskipun hanya libur pendek sabtu dan minggu saja—sebenarnya tidak bisa dihitung sebagai liburan, liburan itu kalau setelah terima rapot semester. Meski sudah kutunggu-tunggu hari libur itu, tapi aku sedikit sangsi. Kalau lagi sibuk sekolah pengennya libur, pas lagi libur pengen cepat-cepat masuk sekolah. Sama seperti lagi musim kemarau, doaku semoga cepat turun hujan. Nah giliran dikasih hujan, "Ya Tuhan semoga hujan ini cepat berlalu." Tapi kalau pas hujan lagi bersama Dalila mengungsi di pinggir gedung, "Ya Tuhan biarkan hujan ini terus turun supaya bisa berlama-lama dengan Dalila."

Tiba-tiba aku jadi rindu gadis itu. Sambil berjalan ke kelasnya aku jadi kepikiran apakah Dalila juga punya harapan yang sama denganku jika hujan turun. Mungkin bayanganku Dalila seperti ini "Ya Tuhan semoga hujan turun supaya aku bisa minta dipinjemin jaket."

Selama ini aku hanya mengikuti arus saja. Tidak terlalu terlihat ngebet untuk mengejar Dalila, tetapi tetap kutunjukkan padanya kalau aku suka padanya. Yang kubaca dari internet, ada dua jenis perempuan dalam menerima cinta. Dapat menerima cinta dengan cepat dan ada yang ingin menerima secara bertahap. Masalahnya, aku modus sedikit dia langsung malu-malu. Aku takut dia tipe yang tidak ingin langsung di-dorr. Nanti jawabannya, "kecepetan, tolong kasih aku waktu." Maka dari itu aku pikir pelan-pelan saja—meski dia sudah kuanggap sebagai pacarku.

Sekali Merdeka Tetap MerdekaWhere stories live. Discover now