Chapter 29

21.1K 2.5K 96
                                    

DALILA

            "Hola sayang-sayangkuuu," kataku menyapa Merdeka dan Bara yang duduk berdua dengan penuh suka cita di kantin. Tetapi rupanya salah satu dari mereka tidak menanggapi sapaanku dengan suka cita juga. Sepertinya Merdeka hanya ingin mendengar kata 'sayangku' satu saja. Dengan wajah penuh cengengesan aku menyelip mengambil posisi duduk di antara mereka berdua.

            "Kayaknya lagi bahagia banget," kata Bara. Dia tahu saja kalau mood-ku lagi bagus.

            "Buletin sekolah udah siap cetak. Kerjaku udah kelarrrrrr," jelasku penuh semangat. Berbagi berita baik saja hatiku makin plong.

            "Deka, lo ngerti maksudnya kan?" tanya Bara pada Merdeka. Badanku harus mundur sedikit ke belakang agar tidak menghalangi pandangan Bara yang berusaha melihat ke arah Merdeka.

            Merdeka mengangguk. "Artinya dia minta diajak jalan lagi karena udah nggak sibuk."

            "Bukan ituuuuu." Sanggahanku diabaikan begitu saja.

            Sambil menunggu makananku datang aku mengalihkan pembicaraan untuk membahas tentang ujian tengah semester yang tidak lama lagi. Aku meminta Bara untuk mengajariku beberapa tenses dan juga rumus-rumus dari pelajaran yang lain. Tidak hanya aku saja rupanya, Merdeka juga ingin ikut belajar bersama—dia minta diajari Bara juga.

            "Lo lebih pintar dari gue, ngapain minta diaajarin segala?" tanya Bara. Aku ikut menatap orang yang ditanya. Merdeka membuang muka, wajahnya berubah malu.

            Aku mendekati Bara kemudian berbisik padanya dengan suara sedikit keras agar dapat didengar oleh Merdeka. "Soalnya, ada aku." Bara manggut-manggut mengerti. Dia sebenarnya paham, hanya saja dia ingin membantuku membuat Merdeka malu.

            "Baru-baru ini di kelas kalian siapa yang peringkat satu?" tanyaku. Aku tahu mereka berdua siswa berbakat.

            "Aku dong," kata Bara bangga.

            "Lho? Tapi kamu bilang Merdeka lebih pintar dari kamu?" tanyaku kurang paham.

            "Aku kan juara satu karena nyontek jawaban dia."

            Kalau seperti itu aku tidak heran. Bara seperti burung elang yang bebas kesana kemari. Tapi aku tahu dia memang pintar, hanya saja pecicilan dan tidak bisa diam. Tanpa bantuan Merdeka setidaknya Bara bisa dapat peringkat dua atau tiga. Aku tahu kemampuan Bara karena sesekali Bara membantuku mengerjakan pelajaran eksak juga.

            "Kapan mulai belajarnya?" tanyaku pada mereka berdua.

            "Malam ini aku free," kata Bara. Aku juga free. Merdeka juga mengatakan kalau dia free. Kami sepakat akan belajar bersama malam ini.

            "Jam 7 aku udah di rumah Bara," kata Merdeka.

            Kenapa Merdeka selalu pergi ke rumah Bara. Kami juga selalu bertemu di rumah Bara. Padahal sebelumnya aku sudah memberi kode padanya bahwa rumahku terbuka lebar untuknya. Tetapi dia tidak paham apa yang ku maksud. Merdeka pernah bilang kalau otaknya encer—masa dia tidak kunjung paham juga lampu hijau dariku. Aku curiga dia masih malu-malu untuk bertamu ke rumahku. Aku tahu kami memang bertemu untuk belajar bersama. Tetapi kenapa juga harus di rumah Bara, padahal niat awalnya dia ikut karena ada aku.

            "Merdeka," aku memanggil namanya penuh penekanan. Dia menoleh ke arahku.

            "Sebenarnya kamu itu mau ngapelin aku atau ngapelin Bara?"

Sekali Merdeka Tetap MerdekaWhere stories live. Discover now