Till Death Do Us Part

150 9 2
                                    

Suasana di dalam mobil malam ini begitu aneh rasanya bagi mereka berdua. Benar, tidak sepatutnya masalah yang harusnya diselesaikan dengan berbicara digantung begitu saja. 

Tivara terus menerus memandang jendela di samping kiri wajahnya, menatap kosong jalanan yang basah sehabis hujan. Begitu juga Winan yang menyetir dengan pelan, pandangannya fokus ke depan, tak menghiraukan apa pun.

Malam ini, semua berjalan lambat sekali, namun menyesakkan dan memedihkan. Tivara yang berdiam diri perlahan-lahan meneteskan air mata, lalu dihapusnya, dan begitu lagi. Winan hanya diam, namun jauh di dalam hatinya, sesuatu berderakan, menimbulkan suara yang memekikkan telinga, berantakan sekali.

Mobil berhenti melaju. Tivara yang sedari tadi hanya memelengkan kepala langsung mendongak, melihat ke depan. Ternyata mereka sudah sampai di depan rumah. Dia menoleh ke kanan, ke arah Winan, berharap satu patah dua patah kata diucapkan oleh lelaki yang sudah bersamanya selama dua tahun belakangan. 

Dilepaskannya sabuk pengaman dari tubuhnya, lalu dia membuka pintu mobil di sebelah kirinya. Dia menghela napas panjang. Lalu kembali menutup pintu mobil.

"Kita nggak bisa menyelesaikannya kaya gini, Winan."

Winan menoleh, memandang Tivara lekat-lekat. Matanya memerah, terlihat kesedihan begitu terpancar di wajahnya.

"Lalu aku harus gimana, Tivara? Aku harus gimana?" tiba-tiba tangis Winan yang begitu lama dia tahan selama perjalanan akhirnya tumpah juga. Napasnya sesenggukan, bercampur dengan goncangan di pundak dan telapak tangannya yang menutupi wajah.

Tivara langsung memeluk lelaki itu kuat-kuat, ingin rasanya ikut menangis bersama, seperti yang dulu-dulu. Namun dia tahu, semakin dia menangis, maka semua ini tidak akan terselesaikan.

"Kenapa kamu menyembunyikan ini semua dari aku, Tiv? Aku ini suamimu. Aku berhak tahu semuanya tentang kamu."

"Aku tahu. Maaf, Winan. Tapi aku juga nggak siap dengan semua ini."

"Aku nggak bisa kehilangan kamu, nggak bisa. Kamu tahu kan berapa lama perjuanganku mendapatkan kamu? Terus sekarang aku harus bagaimana?"

"Kita harus melewati ini. Mau nggak mau. Ini cobaan pernikahan kita, Winan."

Winan yang tadi terus sibuk degan tangisannya, membuka matanya yang penuh air untuk melihat wajah Tivara. "Aku nggak menyarankan kamu untuk mempertahankan..."

"Aku ibunya, Winan. Jabang bayi ini ada di rahimku. Aku yang berhak menentukan."

"Jangan gila."

Tivara menjauhkan wajahnya dari Winan setelah mendengar kata barusan. "Kamu pikir keputusanku ini gila? Tidak sama sekali. Kamu salah. Aku akan mempertahankan anakku bagaimanapun caranya."

Winan terdiam dan kembali memeluk erat Tivara seperti sedang memeluk anak kecil yang bersedih. "I know you will. I know."

"Jangan bilang mamah dan papahku untuk saat ini. Bagi kita sudah begitu berat, jangan biarin mereka tahu dulu."

"Kamu yakin?"

Tivara mengangguk.

Setelah terdiam lagi selama beberapa menit di dalam mobil dengan kesunyian masing-masing, akhirnya Tivara keluar dari mobil terlebih dahulu dan Winan memasukkan mobilnya ke garasi.

Keputusan yang barusan diambil Tivara tidak mudah. Mustahil untuk menganggap semua ini begitu enteng. Ini masalah hidup dan mati. 

Baru beberapa jam yang lalu dia mengetahui ternyata dia terkena kanker rahim, yang begitu ditakutinya. Dan lebih menyesakkan lagi, penyakit sialan yang dideritanya tersebut berbarengan dengan kehamilannya yang baru berusia dua bulan. Dokter sudah mewanti-wanti akan dua hal terburuk yang akan terjadi. Bayi lahir dengan kondisi cacat atau tidak lahir sama sekali alias harus diangkat dari rahim sebelum kanker itu membunuh jabang bayi dan ibunya.

Melodi Aksara Pada Bumi ManusiaWhere stories live. Discover now