14. Strange Feeling

20.1K 2.9K 1.1K
                                    

DK

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

DK

Anavia Edelweisa,

kenapa kamu menjungkirbalikkan hati saya seperti ini?

Saya ingin membenci kamu, tetapi kenapa saya tidak bisa melakukannya dan berujung luluh hanya karena melihat wajah sendu kamu?

Pembicaraan soal 'nasib' kita berdua terhenti sampai disana, saya tidak bisa melanjutkannya karena saya tahu hal ini harus dipikirkan menggunakan kepala dingin. Kami berdua terlarut dalam hening, tangan kanan saya masih memegang tangan perempuan itu dengan dada yang tiba-tiba sesak. Rencana manusia itu menyakitkan, apalagi ketika kita menaruh harapan pada rencana yang ternyata malah menjadi sumber kekecewaan.

"Cincin bapak dibuang?" Tanyanya yang baru sadar dengan hilangnya sebuah cincin di jari manis tangan kiri saya.

"Dibuang, saya benci kamu." Ucap saya, melepaskan pegangan saya pada tangannya kemudian memalingkan wajah ke arah lain.

Hembusan napas penuh kekecewaan keluar dari hidungnya, perempuan itu meringsut turun dari atas tempat tidur dan sukses membuat saya khawatir karena kondisi kakinya. Dia duduk tepat disebelah saya, melihat wajah saya dari samping namun sayangnya saya tidak memiliki niat untuk membalas tatapan itu.

"Saya pikir nggak akan terbuka secepat ini." Katanya, "Dengan tulus saya meminta maaf karena telah membuat bapak kecewa. Tapi bapak tau gak? Dilain sisi saya senang karena faktanya terbongkar secepat ini, selain karena bapak menjadi tau alasan sebenarnya dibalik niat saya, bapak juga punya kesempatan untuk mengontrol perasaan bapak, pun dengan saya."

Jadi sekarang Navia ingin membahas perihal perasaan bersama saya, ya?

"Memang menurut kamu saya punya perasaan ke kamu?"

"Enggak." Jawabnya, "Tapi kalau dibiarkan terlalu lama, bukannya akan ada kesempatan untuk si perasaan itu datang?"

Perkataannya tidak salah sih, toh sekarang saja saya bingung sendiri dengan jenis rasa sesak, kecewa, dan juga khawatir yang ada didalam hati saya. "Sejak awal saya gak suka ke kamu, saya memang lagi berusaha untuk menyukai kamu, tapi batal gitu aja karena saya terlanjur kecewa sama kamu."

"Hak bapak kok," ucap Navia, "hak bapak untuk merasa kecewa sama saya, saya maklum. Kalaupun bapak udah gak mau anggap saya istri lagi kayak kemarin-kemarin, saya gak keberatan. Justru saya mau meminta maaf karena sudah mengkhianati kebaikan bapak. Bapak bahkan mencoba menerima saya, memperlakukan saya dengan tulus, dan membuat saya merasakan juga yang namanya ... oh, begini ya kalau punya suami?"

Kali ini saya menoleh, melihat Navia yang memandang langit-langit kamarnya sendiri. Dia tersenyum, dan untuk yang satu ini saya tidak menemukan kebohongan atau keganjilan sama sekali. Dadanya naik ketika menghirup udara banyak-banyak, selanjutnya perempuan itu melihat saya sekilas namun segera memalingkan wajahnya lagi untuk menghindari kontak mata bersama saya.

RI 1Where stories live. Discover now