6. D-1

20K 3K 1K
                                    

DK

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

DK

'Soal penawaran bapak waktu itu, sepertinya saya berubah pikiran dan bersedia menerima tawaran untuk menjadi istri bapak.'

Sebentar, saya tidak salah lihat kan?

Berulang-ulang saya membaca sederet pesan yang dikirim melalui aplikasi WhatsApp itu, tubuh saya menegang seketika hingga menarik atensi Parka— ketua umum Partai Demokrasi Indonesia yang sejak tadi duduk disebelah saya. Acara nyaris selesai, dan sampai sekarang baik Navia ataupun Bara tidak ada di lokasi karena harus membuat laporan ke Mabes TNI. Kejenuhan saya mendadak hilang, semua rencana kerja yang sejak tadi saya dengarkan tiba-tiba berpencar dari dalam kepala saya hanya karena sebuah pesan singkat dari Navia.

"Lo kenapa? Kontrol muka, wartawan motret." Parka menyikut perut saya, pasti tegurannya diberikan karena muak melihat wajah super aneh yang saya pasang sekarang.

"Ck!" Decaknya, "Gak usah kaget deh, DPR kan emang dipastikan nolak, jadi—"

"Bukan itu." Hampir saja saya kelepasan untuk menggetok kepala Parka, masih untung saya sadar situasi dan lokasi. "Lo yang nyuruh, Ka?" ucap saya, menggeser layar ponsel kearah Parka yang kini ikutan melotot karena sama-sama kaget ketika membaca isi pesan dan nama si pengirim; Lettu Anavia.

"Demi Tuhan kagak, Ga." Sumpahnya, "Dia asisten ajudan lo yang waktu itu kan? Kok ... anjir lo ngapain anak orang?"

"Sstt!" Saya mendesis kearahnya, ucapannya barusan bisa saja terdengar oleh orang lain dan itu membahayakan. "Gue cuma ... nggak, lo gak perlu tau. Gue juga masih harus konfirmasi ini, dan lo jangan gembar-gembor dulu soal ini." ucap saya kemudian mencoba tenang, memasukkan ponsel saya kedalam saku jas yang saya pakai lalu kembali menyimak jalannya rapat kerja. Konsentrasi saya buyar, hingga rapat selesai saya persis seperti patung tanpa telinga yang tidak bisa menangkap satu pun inti dari isi rapat tersebut.

Kejadian-kejadian tak masuk akal silih berdatangan, mulai dari kasus PLTU dan impor batubara, konspirasi dibalik tiga anak perusahaan Surya Corp yang berkaitan langsung dengan mantan Direktur Dirjen Pajak, ancaman surat kaleng, serangan terror, hingga Navia yang tiba-tiba menyetujui tawaran saya untuk menjadikannya istri sekaligus Ibu Negara. Ditengah-tengah rapat, saya juga dikagetkan oleh kabar bahwa DPR menolak usulan menteri ESDM dengan alasan yang nyaris sama persis. Mereka bilang, daripada membangun PLTU lebih baik menteri ESDM mengoptimalkan beberapa tanggul untuk digunakan sebagai PLTA. Dengan adanya penolakan ini, setidaknya pemerintahan dinyatakan aman walau saya yang menjadi taruhannya.

Dan sekarang?

Kenapa Navia— maksud saya, apa alasan yang mendasari dia untuk menyetujui ini? Tekanan keluarga? Tergoda oleh ketampanan saya? Atau apa? Saya masih tidak mengerti dan jujur saja ini amat sangat mengagetkan. Lagian kenapa dia menyetujui ini disaat situasi sedang genting-gentingnya? Memangnya dia tidak takut dengan kejadian tadi malam? Masalahnya, dengan menjadi istri presiden, dirinya akan ikut menjadi sasaran dari kejahatan yang dilakukan oleh para iblis negara.

RI 1Where stories live. Discover now