...

            Merdeka membuatku yakin kalau dia belum pernah berpacaran. Merdeka masuk ke rumahku seperti masuk ke ruang guru—sopan sekali. Mau duduk saja minta izin dulu. Sementara Bara sudah dengan santainya menyalakan TV.

            "Santai aja, orangtuaku masih di Canberra," kataku menyuruh agar Merdeka bisa santai seperti Bara tapi tidak perlu juga meniru tingkah Bara yang sudah tiduran di atas sofa.

            Aku tidak mempersilakan anak laki-laki masuk ke kamarku. Ada banyak benda terlarang di sana—pakaian dalam salah satunya. Keranjang kotorku juga belum dipindahkan. Aku takut mereka dapat melihat kacamata melar itu. Kulihat Merdeka dan Bara mulai mengacak-acak ruang keluargaku. Ruangan ini lebih luas dan nyaman ketimbang kamarku. Volume TV sengaja ku kecilkan karena niat utama kami adalah untuk belajar.

            Bi Nunung datang membawa tiga gelas jus mangga, kemudian berlalu pergi. "Jangan ditumpahin ya," kataku menyalurkan apa yang ingin Bi Nunung sampaikan pada Bara.

            "Kalau untuk Merdeka ditumpahin aja nggak apa-apa pesan Bi Nunung," kataku kali ini pada Merdeka. Bi Nunung baru hari ini ku kenalkan pada Merdeka. Bi Nunung bilang Bara ganteng, tapi gantengan Merdeka. Ternyata aku dan Bi Nunung sehati.

            "Mulai belajar aja ya," ajakku menggiring mereka untuk buka buku.

            Merdeka mengajarkanku matematika, fisika, kimia, dan bahasa Inggris. Otaknya tidak langsung diperas habis, karena aku hanya bertanya pada bagian-bagian yang tidak kumengerti saja. Seperti materi tentang matriks. Kenapa kurungnya harus kotak bukan bulat. Integral, kenapa harus f(x), apa yang spesial dari dua abjad yang mirip nama girlband Korea. Aku tidak begitu payah untuk eksak, aku hanya payah di bahasa Inggris. Pertanyaan-pertanyaan absurdku tadi? hanya untuk membuat Merdeka terus berbicara panjang lebar. Suaranya itu terdengar lucu, seperti guru yang sedang mengomel karena muridnya tidak kunjung mengerti.

            "Sampe sini paham?" tanya Merdeka penuh penekanan. Dia sedang berusaha sabar padaku.

            "Dia paham kok, cuma lagi nyari perhatian lo aja," timbrung Bara. Kuberikan poin 100 untuk Bara. Merdeka tidak marah, dia malah menahan senyumnya. Di antara semua bentuk senyuman Merdeka, aku paling suka melihat dia menahan senyum. Lebih imut menurutku, padahal wajahnya tidak baby face. Bagaimana yaa cara menjelaskannya, dia itu punya wajah maskulin, mau bilang ganteng sih memang ganteng, tetapi lebih enak dibilang manis. Kalau diam saja dia terlihat macho, kalau menahan senyum dia terlihat cute, kalau lagi menaikkan sudut bibir dia sangat sexy, kalau dia tersenyum lebar ambyar sudah diriku. Sekarang aku berusaha menahan diri agar tidak mengabadikan wajah itu, dia pasti suka jika aku juga menunjukkan usahaku untuk lebih dekat dengannya.

            Tiba-tiba Bi Nunung datang membawa sepiring kentang goreng.

            "Mas Merdeka udah punya pacar?" tanya Bi Nunung. Merdeka menggeleng.

            "Udah 5 tahun Bibi jadi janda," aku Bi Nunung mempromosikan dirinya. Aku mengelus-elus dadaku sesak walaupun Bi Nunung tidak sungguh-sungguh. Bi Nunung itu keibuan, tetapi terkadang jika aku membawa cowok cakep seperti Bara ke rumah, Bi Nunung suka mengisengi tamuku. Sepertinya Bi Nunung kesepian karena selama ini hanya berdua saja denganku di rumah.

            "Sudah 5 tahun aku nggak punya pacar," kataku meng-copy-paste ucapan Bi Nunung tadi yang sebelumnya sudah ku modifikasi. Jujur aku juga tidak mau kalah dari Bi Nunung.

            Bara juga tidak mau ketinggalan. "Kalau aku terakhir kali pacaran sama tali pusar."

            Hancur sudah rencana kami untuk belajar. Pertama, karena percakapan seputar tidak punya pasangan terus berlanjut. Kedua, Bi Nunung meracuni kami dengan snack pengganti makan malam. Ketiga, Bara membawa playstation-nya ke rumahku. Keempat, Merdeka menang telak di ronde pertama sehingga dia dan Bara bermain satu putaran lagi. Kelima, mood-ku untuk belajar tiba-tiba hilang karena aku juga ikutan ditantang bermain. Keenam, tidak terasa sudah hampir jam 9 malam sehingga mereka memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing.

            "Hati-hati di jalan," kataku begitu Merdeka masuk ke dalam mobil jemputannya.

            Setelah mengantar Merdeka di halaman depan, Bara ikutan pamit pulang. "Hati-hati melangkah," kataku. Dia mengangguk. Walau hanya perlu 36 langkah untuk sampai ke pintu rumahnya, tetap harus hati-hati. Ada kerikil, semut, ranjau, bekicot, dan lain-lain yang tidak boleh diinjak.

...

MERDEKA

            Ceklek. Begitu kubuka pintu kamarku, sudah ada Isabella dan Liora di sana.

            "Baba!" sapa Liora senang melihatku pulang rumah.

            "Baba!" tiruku.

            "Habis pacaran Bang?" tanya Isabella. Kini dia melempar senyum mesumnya.

            "Hhmm," gumamku mengiakan.

            Sepertinya Isabella tidak menyukai responku—atau kemajuan cintaku? Dia berbaring di kasurku dengan kaki dihentak-hentakkan merajuk campur frustasi. Tanganku refleks menahan Liora yang ikutan goyang-goyang naik-turun mengikuti gerakan kasur.

            "Aku yang ngasih masukan, kenapa malah hubungan Bang Deka yang lebih maju!" keluh Isabella. Rupanya Isabella cemburu karena kisah cintanya stuck di laci mejaku saja. Tidak ada perkembangan sama sekali.

            "Makanya jangan pacaran sama kertas," saranku menasehatinya. "Cari tuh yang jelas." Jari telunjuk yang menunjuk diriku. "Kelihatan kan?" lanjutku.

            Isabella tambah merajuk. Dengan tangan yang menopang kepalanya, dia memperhatikanku lekat-lekat. Aku jadi risih karena mau ganti baju.

            "Bang Deka beneran udah pacaran sama—"

            "Hhmm," potongku mengiakan pertanyaannya yang belum kelar.

            "Wow! Habis nge-date ke mana?" Isabella makin penasaran tentang hidupku yang berjalan lancar.

            "Rumah Dali—"

            Belum selesai aku menyebut nama gadis itu, Isabella sudah heboh duluan. "Wow!! Astagaaaaaa ... hebat banget abangku ini!"

            "Ngapain aja di sana? Hhm?" adikku makin penasaran, dari tidur-tiduran di kasurku mengubah posisi menjadi duduk manis dengan kaki yang dilipat.

            "Belajar." Aku sudah jujur, tetapi Isabella terlihat tidak percaya. "Serius. Abang lagi pamer ini. Kayaknya dia suka sama cowok yang pinter deh. Sekalian aja Abang unjuk kebolehan," ujarku. Ada rasa bangga saat aku menjelaskan beberapa materi yang gadis itu kurang paham. Apalagi saat Bara berkata kalau Dalila hanya pura-pura tidak mengerti agar menarik perhatianku. Padahal dari awal aku sudah tertarik padanya—tetapi tidak ingin kuungkapkan padanya agar dia terus meminta tolong padaku untuk diajari lagi.

            "Hhmm ... boleh juga rencananya. Jadi kalian berdua belajar doang di sana?"

            Aku lupa menjelaskan satu lagi. "Bertiga. Bara juga ikut," tambahku.

            Isabella menepuk dahinya dengan wajah—frustasi.

            "Bukan kencan namanya kalau Bang Bara juga ikut. Lain kali berduaan aja Bang, jangan ajak Bang Bara. Lagi pula ngapain juga Bang Bara ikutan segala? Nggak peka banget liat abang tercintaku lagi berjuang."

            Kalau melihat Isabella yang sekarang, sepertinya dia sangat mendukungku bersama Dalila. Seketika aku jadi makin sayang padanya—apalagi jika sekarang dia balik ke kamarnya karena aku ingin ganti celana dalam.

            Aku memberi kode padanya untuk putar badan. Isabella yang paham langsung mengangguk, dia juga membawa Liora untuk tidak melihat ke arahku.

            "Nggak apa-apa juga Bara ikut. Soalnya dia yang buka jalan," kataku selagi memakai celana rumah.

            Isabella diam sejenak seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu.

            "Tapi deg degannya kakak ipar nggak akan secepat kalau kalian berdua aja."

            Baiklah. Akan kucatat sebagai alasan untuk mengusir Bara nanti.

**sekilas info: Kencan Kilat akan segera terbit di Bhuana Sastra. Pantengin IG @farvidkar @BhuanaSastra @BIPGramedia untuk info lebih lanjut ^^~

Sekali Merdeka Tetap MerdekaWhere stories live. Discover now