"Iya. Kenalin ini teman aku, Merdeka. Dia dari kelas sebelah," ucapku memperkenalkan Merdeka. Pria itu melirikku sekilas kemudian memperkenalkan dirinya lagi pada Farah. Begitu juga sebaliknya.

Setelah itu Farah pamit pergi, katanya mau ke kantin beli air minum—padahal sengaja kabur. Namun sebelum beranjak pergi, Merdeka memanggilnya.

"Far," panggil Merdeka. "Jangan pernah pindah tempat duduk ya," lanjutnya. Farah geleng-geleng kepala menanggapi permintaan Merdeka. Tapi Farah tetap mengiyakan hal itu. Setelah itu Farah meninggalkanku dengan Merdeka, seperti cameo yang datang dan pergi.

"Dalam rangka apa nih ke sini? Tumben kamu main ke kelasku," kataku mulai bertanya. Dari pada kita berdua hanya diem-dieman tidak jelas.

"Aku kirim kamu chat di WhatsApp tapi cuma satu centang," katanya.

"Habis kuota." Sebenarnya kuotaku masih ada setengah gigabyte, tetapi masa berlakunya hanya sampai tengah malam. Aku baru sadar pagi ini.

Tiba-tiba Merdeka merogoh sesuatu di sakunya. Jangan bilang dia mau ngasih aku duit untuk beli kuota?

"Nggak usah, makasih. Uang aku masih banyak kok buat beli kuota," tolakku sebelum dia berbicara. Meski niatnya baik, tetapi aku tidak mau dibiayi oleh anak orang sementara orangtuaku masih bisa membiayaiku.

"Apa?" Merdeka terkekeh geli. Ternyata Merdeka mengeluarkan ponselnya yang retak-retak itu—bukan mengambil beberapa lembar uang.

"Aku memang lagi nggak mau sedekah," katanya meledekku.

Astaga, ternyata dia rese juga. Duhh aku jadi malu-maluin banget.

Merdeka memang jagonya membuat orang terbang kemudian menghempaskannya ke bumi. Wajah aku mau taruh di mana coba? Dia ada dihadapanku. Mau hadap kanan atau hadap kiri, bagian samping wajahku kelihatan. Menghadap belakang? Leherku bisa patah.

Ponselku berdering. Penelponnya adalah pria yang duduk di hadapanku.

"Pinjem." Merdeka mengambil ponselku sebelum kuizinkan.

"Merdeka." Dia membaca namanya di layar ponselku dengan dahi berkerut. Namanya memang Merdeka, jadi aku simpan dengan nama 'Merdeka'.

"Kenapa sih kamu suka manggil aku Merdeka, bukan Deka aja?" tanya dia dengan nada sebal.

"Lucu aja. Nama kamu bagus kok. Aku suka," ungkapku. Barusan aku berkata jujur dari lubuk hati terdalam. Pria itu melirikku sekilas kemudian melemparkan senyum singkatnya. Kulihat Merdeka sibuk mengotak-ngatik ponselku. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan. Setelah itu dia mengembalikan ponselku dan pergi keluar dari ruangan. Aish ... dia mengganti namanya di ponselku. Disana tertulis 'Deka'. Padahal aku sukanya 'Merdeka'.

Aku mengubah lagi namanya di ponselku. Kali ini sedikit lebih panjang. Dia akan kaget setelah melihat namanya di daftar kotak ponselku.

Sekali Merdeka Tetap Merdeka

...

MERDEKA

Akhirnya istirahat juga. Aku lelah menyalin catatan yang ada di papan tulis. Ingin ku foto saja, tetapi tidak akan nyangkut di otak. Jariku sampai merah karena menekan pulpen begitu kuat. Bara sudah menungguku untuk ke kantin.

"Buruan, lelet banget," keluh Bara. Dia bilang dia tidak sempat sarapan hari ini.

"Duluan aja, gue mau ke kelas sebelah dulu," kataku malas. Bara langsung mendekatiku.

Sekali Merdeka Tetap MerdekaWhere stories live. Discover now