"Hah?" Aku kembali me-scroll ponselku ke atas. Ternyata buka itu yang dikatakan si tampan preman sekolah. Lalu suara barusan dari mana?

            "Mau nonton apa, hm?" Merdeka menunjukkan ponselnya. Aku perlu mempertajam penglihatanku karena layar ponsel pria itu banyak yang retak.

            "Kamu ngajak aku nonton?" tanyaku memastikan. Tiba-tiba aku ingin minta maaf padanya yang sepertinya menganggapku menyebalkan. Wajah Merdeka sampai merah untuk menjawab pertanyaanku.

            "Sesuai rencana kita kemarin," jawab Merdeka.

            Berarti dia mengajakku kencan?! BERDUA? Sekarang malahan aku yang berubah merah, bukan karena marah. Aku malu. Ini kali pertama Merdeka mengajakku kencan. Aku jadi ingin menghindari dia, bukannya aku menolak tetapi aku belum siap untuk terus dag dig dug meskipun aku sudah menyiapkan baju ganti, tapi gilaran sekarang ... hati dan isi kepalaku tidak selaras.

Aku pengen tapi malu!

            "Tunggu Bara dulu," alasanku. Aku ingin pergi kencan, tetapi ajak Bara juga.

            "Dia udah pulang."

            "Kapan?"

            "Barusan," katanya. Aku menatap jalanan luar. Tidak ada Bara, bahkan aku sudah menunggu dari tadi di sini tapi tidak melihat Bara yang mengendap-endap.

            "Nggak ada tuh," kataku tidak percaya.

            "Dia udah pulang naik mobil coach Eli," jelas Merdeka. Kini aku tidak curiga lagi pada mobil silver yang tadi tidak mau menurunkan kaca. Padahal aku sudah siap-siap mau melambaikan tangan pada penumpang di mobil itu. Pasti mereka sudah menyusun rencana.

            "Terus kenapa kamu nggak pulang bareng mereka?" tanyaku belum siap mendengar jawabannya.

            "Kan mau nonton sama kamu."

            Nggak tahannnnn. Aku menutup wajah menggunakan kedua telapak tanganku. Berusaha tidak berteriak kegirangan. Aku juga tidak mau menunjukkan wajahku yang sumringah ini padanya. Aku tidak jatuh cinta padanya, tetapi jika dibilang seperti itu tentu tidak ada yang tidak gembira. Tapi sepertinya aku tidak bisa nonton dengannya hari ini.

            "Merdeka, kayaknya kamu nggak bisa nonton sama aku," kataku serius.

            "Kenapa?" tanyanya dengan raut—kecewa?

            Aku meninju perutnya pelan. Dia langsung meringis kesakitan.

"Aku nggak mau jadi saksi di pengadilan kalau tiba-tiba kamu nggak bernapas pas lagi nonton bareng aku di bioskop."

...

MERDEKA

            Harusnya kami duduk di kursi dalam teater bioskop, bukannya di kursi besi rumah sakit. Aku hanya akan memeriksakan diri, Dalila memaksa akan langsung pulang jika aku tidak mau memeriksakan diri ke dokter.

            "Kira-kira kamu boleh makan permen nggak, ya?" kata gadis itu. Dia ragu ingin memberikanku permen yang juga sedang dia makan. Aku langsung mengambil permen yang ada di tangannya.

Makan permen nggak akan bikin memar aku jadi berubah warna.

            "Nggak boleh," kata gadis itu merebut lagi permen yang ada di tanganku. Dia memasukkan semua permennya ke dalam tas.

            "Ganti pisang aja, ya?" tawar gadis itu.

            Aku kurang suka pisang, kalau disuruh pilih buah apa yang ku sukai aku lebih suka buah yang sebangsa dengan jambu, entah jambu batok atau jambu air. Sepertinya dulu Bunda mengidam jambu saat aku di perutnya.

Sekali Merdeka Tetap MerdekaWhere stories live. Discover now