40. Darah, Keringat dan Air mata

4K 343 35
                                    

Malam itu, hujan badai mengguyur suatu pulau. Di tengah perairan selat sunda. Air laut terombang-ambing, akibat sapuan angin. Pecahan ombak di terumbu karang berderu keras.

Sampai sambaran kilat putih yang tak gentar menyongsong, ke segala penjuru. Cuaca ekstrim ini, juga turut dirasakan oleh pohon-pohon kelapa di tepian pantai.

Beserta penginapan tua nan megah yang berdiri di atas tanahnya. Namun nyatanya, hal-hal seram yang terjadi di luar sana. Malah membangkitkan semangatnya.

Semangat seorang pemuda yang saat ini, menggenggam erat pegangan kapak di tangan kanan. Penuh darah kental, di bagian ujung tajamnya. Serta membawa lentera kecil di tangan kirinya. Gigi-gigi putih itu berderet rapi, saat dia mengumbar senyum mengerikan.

KRIIET~ Pintu itu terbuka pelan.
Pemuda itu memasuki sebuah ruangan.

Kosong.

Langkah ringan sang pemuda menyeberangi ruang kamar, sekali sibak ia menggeser tirai beranda. Lembab dan berdebu. Entahlah, pemuda itu sendiri lupa kapan terakhir kali, parka tebal sewarna batu mirah itu dibuka atau dibersihkan. Errm.

Sebulan? Setahun? atau mungkin—lebih lama lagi, ia tak ingat.

Tangannya dikibaskan, menghalau serbuk debu yang terbangan kegirangan. Akhirnya berhasil mengais gagang pintu kaca beranda. Berderit berat oleh karat, kemudian terbuka sempurna.

Langkahnya mantap. Sabit rembulan yang melengkung janggal di ujung langit, menjatuhi kepala serta tubuh tegapnya dengan sinar muram. Lebih lemah dari yang ia kira, lebih magis dari malam-malam sebelumnya.

Manik safirnya memandang jauh ke bawah. Pada hamparan hutan yang bermandikan temaram keperakan. Tiupan angin bergelung pelan, menubruk kulit di balik kaos tipisnya—Dingin.

Beberapa daun bergemerisik, bersahut ngeri dengan lolongan janggal serigala di ujung padang tepat di tengah hutan, nampak seperti lingkaran ilalang yang diapit pinus-pinus serta pepohonan oak.

Dia kembali ke dalam kamar. Tangan kanannya kian mengerat. Saat ia menjalankan kaki telanjangnya, dengan langkah terseret. Bercak-becak darah yang belum mengering, tampak mengotori permukaan lantai di sekitarnya.

Tak peduli, apakah dia akan menginjak bercakan darah yang ada di permukaan lantai kayunya atau tidak. Dia tetap melangkah mencari korbannya.

“Kenapa bersembunyi? Ayo keluar Veranda...” Panggilnya perlahan.

“Sayang, kau tidak ingin melanjutkan permainan panas kita?”

Tak ada jawaban!

Yang ada hanyalah suara kusen jendela yang bergerak. Akibat terjanggan angin badai di luar sana. Serta suara ribuan tetes air hujan, yang menjatuhi atap penginapan tuanya.

“Oh, jadi tidak mau? Kau yakin?”

Detik berikutnya, terdengar suara sendi lemari yang sedikit berdecit. Pemuda dengan sekujur tubuh penuh cipratan darah itu, menoleh pelan. Dia pandangi lemari pakaian dua pintu, yang memiliki sela gelap di bagian tengahnya.

Ada yang mengintip rupanya.

Dia tersenyum.

Ketemu!

Sang mangsa yang bersembunyi itu. Dia telah mengetahui, di mana lokasi keberadaannya. Hanya perlu mendekat, sembari terus menikmati suara napasnya yang terdengar memburu. Tak heran saat dirinya sudah berada tepat di depan lemari.

Di dalam lemari pakaian, Veranda memejamkan mata bulatnya, dan menggigit bibir bawahnya. Agar isakannya tak terdengar. Tapi suara isakan lirih nan memilukan, tetap terdengar. Dari kedua bibir gadis yang memiliki paras secantik malaikat, Jessica Veranda.

Love Scenario [END-COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang