Part 22. Ruang kegelapan!

24.1K 2.8K 292
                                    


Yuhu...

Oren datang cepet dong yey...

Sebelum tengah malem hehe

Semoga suka yeyyy

.

.

.


            Oren mengusap wajahnya kasar, dia berdiri di depan pintu apartemen Alex. Oren tidak mendengarkan Gio, dia meninggalkan cowok itu di warung kopi dan bergegas menyusul Alex ke apartemen meskipun cewek itu tidak yakin dia kembali ke apartemen.

Namun, rupanya Oren benar. Alex membuka pintu dan memandang Oren malas. Oren meneteskan air mata lalu menghambur ke pelukan Alex. Dia meminta maaf, berguman berulang kali kalimat yang sama. Tetapi Alex tidak merespon, membalas pelukannya pun tidak.

"Gue nggak akan pergi, Lex. Percaya sama gue." Pinta Oren kelelahan.

Alex tetap diam, membiarkan Oren dengan usahanya. Beberapa saat kemudian, Alex menjauhkan Oren dari tubuhnya karena ponselnya berdering. Oren memandang Alex sayu, lebih memilih ponsel dibandingkan dirinya.

"Iya. Ada." Alex memberikan ponselnya pada Oren yang diterima dengan tangan gemetaran.

Kedua mata Oren mengabur, namun masih bisa melihat siapa penelponnya. Oren meletakkan di telinga kiri dan menyapa dengan serak. Oren menutup mulutnya, dan air mata kembali meluruh.

"Iya, dok. Saya ke sana sekarang." Oren linglung dan menggenggam ponsel Alex erat di tangannya. Dia kembali manangis, kali ini meraung sambil berlari keluar dari apartemen.

Alex menyusul dan meraih tangannya. Membawa menuju lift karena Oren yang sudah kalut salah jalur. Dia pergi ke tangga darurat. Alex tidak mengeluarkan suara, tetapi menggenggam tangan Oren erat.

Mereka bergegas keluar dari area apartemen setelah menunggu antrian keluar. Oren tidak bisa menghentikan tangisnya, nafasnya tersenggal-senggal pendek. Rasa pusing menghantam kepala Oren tanpa henti.

"Mama gue, Lex." Guman Oren lemah. "Mama..."

Alex tetap tidak menjawab, dia fokus menyetir dengan kecepatan di atas rata-rata sehingga banyak pengguna jalan memaki dan menyumpahi. Mereka sampai di depan rumah sakit dan Oren berlari dengan keadaan kacau serta mengabaikan kandungannya.

"Mama saya gimana, dok?" Oren memegang tangan seorang dokter laki-laki kisaran lima puluh tahunan baru keluar dari ruangan. "Mama saya, dok." Raung Oren.

"Kamu tenang, dulu. Mama kamu sudah ditangani." Dokter itu berusaha menenangkan dan menahan tubuh Oren supaya tidak ambruk.

Namun, Oren menggeleng dan terus menangis. "Saya mau lihat mama, dok." Pintanya lemah.

"Sebentar lagi, Jangan sekarang. Kamu harus tenang dulu." Dokter itu kembali mengingatkan. "Setelah tenang, kamu boleh masuk menemui mama kamu."

"Mama kenapa bisa begitu, dok? Kenapa nggak cepat ngabarin saya?"

"Mama kamu jatuh di kamar mandi." Jelas dokter yang bernama Hermawan itu. "Sebentar lagi mama kamu siuman. Tunggu sebentar, jangan gegabah."

Oren merasa tubuhnya tidak memiliki tenaga lagi. Alex meraih bahunya agar terlepas dari dokter Hermawan. Oren langsung turun dari mobil begitu Alex berhneti untuk antri masuk. Oren tidak mendengar teriakan Alex untuk berhati-hati karena dia sudah linglung.

"Mama gue, Lex." Raung Oren serak. "Gue mau ketemu mama sekarang!" Pintanya. Alex memeluk erat dan mengecup berkali-kali agar cewek itu tenang. "Sekarang, Lex!"

"Saya akan pastiin Oren tenang, dok." Kata Alex meminta persetujuan dokter Hermawan. Lelaki itu mengangguk percaya dan akhirnya mereka bisa masuk.

Oren melepas Alex dan berlari pada wanita yang berbaring di atas bangsal lengkap dengan peralatan medis. "Ma, bangun, ma!" Oren memeluk wanita itu erat. "Ma, Oren datang." Oren kembali meraung. "Mama nggak boleh sakit lagi. Maafin Oren, ma. Maafin Oren." Dia mengecupi wajah wanita itu lalu menyeruakan wajahnya di ceruk lehernya. "Mama udah janji sama Oren, mama akan sembuh. Mama nggak akan ninggalin Oren sendiri. Ma..."

"Ren, udah. Biarin mama lo tenang." Kata Alex sambil menarik kedua bahunya.

Oren menggeleng dan semakin memeluk erat wanita itu. "Gue mau di sini, Lex. Gue mau jagain mama gue." Raungnya. "Mama, bangun..."

"Mama lo masih istirahat. Jangan bikin kacau sekarang." Kata Alex menekankan. "Sekarang ayo keluar, lo udah ketemu mama lo." Alex kembali meraih kedua bahunya agar menjauh dari wanita yang sedang tak sadarkan diri tersebut.

Oren akhirnya menurut, dia bangun dibantu oleh Alex. Namun, pandangan Oren makin mengabur dan tubuhnya tidak berdaya lagi. Oren masih mendengar Alex memanggilnya samar-samar kemudian semuanya gelap. Membawa Oren dalam kedamaian yang selama ini dibutuhkan olehnya.

Oren kelelahan dan tidak bertenaga lagi. Seharusnya dia banyak istirahat, tetapi dia memikirkan semuanya sehingga mengabaikan dirinya sendiri.

"Ren!" Panggil Alex sambil menepuk-nepuk pipinya. Alex bergegas mengangkat tubuh Oren dan membawa keluar dari ruangan tersebut. Di luar ruangan itu, dua suster yang sedang lewat berlari menyiapkan ruangan untuk Oren.


***

Jakarta, 29.01.20

Mama Oren masih ada :)

Mama-nya Oren sakit :(

Sekarang lagi dirawat :(




FALLWhere stories live. Discover now