12. Lagu (Revisi)

14.6K 1.5K 19
                                    

Aku membanting pintu cukup keras begitu keluar dari ruangan ayah. Tanpa peduli kalau beliau mungkin jantungan di dalam sana mendengarnya. Aku marah tentu saja. Setelah semua penjelasan panjang lebar dan mengharap pengertian darinya, setidaknya untuk setitik pengertian yang tidak pernah beliau berikan padaku selama ini, semua percekcokan alot yang kami lalui nyaris satu jam lamanya hanya berujung pada emosi dan juga kekecewaan.

"Sudah sejak kapan kamu berhubungan dengan Tama?"

"Belum begitu lama,"

"Jauhi dia. Ayah gak mau kamu dekat-dekat dengan laki-laki itu."

"Kenapa? Karena dia untuk Dara? Karena Dara berhak dapat yang terbaik sedangkan aku enggak?"

"Arlita!"

"Yah, apa penjelasan aku masih belum bisa ayah mengerti? Dara dan Reka saling mencintai. Itu juga alasan aku mau menuruti ide gila Dara. Ayah tega buat Dara sedih? Reka itu laki-laki baik dan aku berani jamin untuk itu. Aku dan Reka sudah bersahabat sejak bunda masih hidup kalau ayah lupa. Lagi pula, jangan anggap remeh Reka. Dia itu cerdas dan juga berdedikasi. Dia akan jadi penerus Om Anto suatu saat nanti. Dara gak akan melarat kalau dengan Reka."

"Bukan begitu, Arlita!"

"Lalu apa?! Kenapa Dara boleh dengan Tama sedangkan aku enggak?"

"Kamu akan mengerti kalau kamu menuruti ayah,"

"Aku bahkan gak mengerti apa maksud ayah sekarang ini melarang aku berhubungan dengan Tama. Ayah gak pernah menjelaskan apa pun selama ini. Gak pernah sekalipun bahkan saat ayah menikah dengan Tante Riani hanya sebulan setelah bunda meninggal dan juga saat melenyapkan semua foto bunda di rumah ini,"

Saat itu Ayah membuang muka dariku dan aku tahu kalau dia tidak akan pernah sependapat denganku entah untuk apa pun itu.

"Panggil bundamu dengan panggilan yang tepat. Dia sudah jadi bundamu untuk 14 tahun ini,"

"Hanya itu yang ingin ayah katakan?"

"Iya. Jauhi Tama. Ayah hanya ingin yang terbaik untuk kamu,"

"Apa Tama kurang baik? Dia lebih dari sekedar baik. Dia sempurna. Aku rasa ayah juga sadar itu waktu menjodohkannya dengan Dara,"

"Berhenti mendebat ayah, Lita! Panggil Dara juga dengan panggilan yang tepat,"

"Kenapa ayah selalu merubah topik?!"

"Cukup turuti ayah. Apa itu sulit? Ayah akan membatalkan perjodohan ini dan membiarkan Dara memilih pasangannya sendiri, asalkan kamu tetap menurut,"

Rasanya aku ingin lepas dari jangkauan ayah detik itu juga. Dia tidak pernah mengerti. Membuka hati bukanlah hal yang mudah ku lakukan, bahkan pada orang-orang yang sudah 14 tahun lamanya beredar di sekelilingku seperti Dara dan Bunda Riani.

Dan saat seseorang menggerakkan hatiku untuk terbuka, bahkan mau menunggu, ayah bahkan tidak mau mengerti.

Ada satu dorongan dari dulu yang selalu ku pendam agar tidak mencuat ke permukaan setiap kali ayah menentukan jalanku, termasuk saat aku rela mogok makan demi diizinkan memilih jurusan IPS di SMA.

Aku ingin melawan.

Dan kenapa dorongan itu terasa semakin kuat saat Tama terlibat di dalamnya. Sekali pun kami tidak berjodoh, setidaknya aku tahu kalau aku tetap akan menjadikannya salah satu orang yang kupercayai kelak. Mungkin itu juga yang membuatku melontarkan bom itu di depan ayah beberapa saat yang lalu.

Not A Simple Love (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now