8. Debaran Tak Diundang (Revisi)

19.9K 1.8K 33
                                    

Rasanya bukan rahasia lagi kalau aku seolah membentuk sekat pembatas untuk diriku dan keluargaku sendiri. Mungkin takkan ada pula yang menyadari bahwa aku bagian dari mereka pula jika tidak diberi tahu terlebih dahulu.

Dari waktu ke waktu aku merasa semakin berbeda dengan mereka. Ayah yang tegas, jelas bukan gambaran diriku yang mudah mengiyakan, kadang malah tanpa mempedulikan perasaanku sendiri. Bunda Riani yang ceria dan anggun, sesekali mengingatkanku pada bunda kandungku, pun tidak memiliki sedikit saja kemiripan sikap denganku yang kaku dan kikuk meskipun kini kami sudah tinggal bersama belasan tahun lamanya. Dan Dara, dia bersinar dengan caranya sendiri. Dia cantik dan memesona. Bukan tandingannya jika aku dibandingkan dengannya.

Yah, harus ku akui kalau aku selalu dan mungkin akan selalu minder berada di tengah-tengah keluargaku sendiri. Sebenarnya untuk apa juga sih aku ada di sini? Memasang tampang lesu padahal sudah didandani habis-habisan oleh Dara secara paksa tadi sore dan juga memakai gaun pesta cantik berwarna cream yang jelas-jelas bukan gayaku. Memenuhi undangan Dara? Atau karena aku ingin curi-curi pandang pada Reka? Hah, pesta bukanlah gayaku, termasuk pesta ulang tahun lumayan mewah yang ayah rancang untuk Dara hari ini. Biasanya juga Dara menyerah setelah mengundangku ke acaranya dan ku tolak tanpa pikir panjang. Kenapa kali ini ngebet banget sih ingin aku hadir?

Rasanya ingin sekali aku mengganti gaun ini dengan kaos dan jins, lalu ngibrit keluar entah itu untuk wisata kuliner atau sekedar mampir ke toko buku langganan ku. Tapi, itu semua hanya angan saja ketika mengingat ancaman Dara yang menurutku hampir sama mengerikannya dengan terungkapnya perasaanku pada Reka.

"Kalau kamu gak hadir di pesta ulang tahunku, aku pastikan akan meminta pada ayah untuk mulai rancang pesta ultah yang lebih heboh buat kamu setiap tahun!"

Hiyy ... membayangkannya saja sudah membuatku merinding sekujur tubuh. Aku memang meminta pada seluruh keluargaku untuk tidak merayakan ulang tahunku dengan pesta sejak bunda meninggal. Cukup dengan sebuah kue tart dengan lilin di atas meja makan dan mereka yang mendoakan ku. Aku tidak butuh lebih. Itu pun mereka masih ngeyel diam-diam menaruh kado di meja belajarku saat aku tidur.

Lalu, membayangkan ancaman Dara terrealisasikan langsung membuatku menyodorkan muka pasrah untuk didandani Dara dengan kuas dan berbagai warna sore tadi.

"Wow, serius ini Arlita?" puji Reka yang kali ini memakai kemeja hitam dan celana bahan abu. Reka banget. Dia memang suka warna-warna gelap.

Aku hanya bisa meringis. "Aneh, ya?"

"No, justru kamu cantik banget." pujinya yang langsung membuatku bersemu.

Andai kamu belum ada yang punya, Ka.

"Tapi miring nih mahkota bunganya," katanya seraya memperbaiki mahkota bunga yang menjadi dresscode pesta Dara.

Mau tak mau aku meremas jariku gugup. Sesekali mengipasi wajahku yang mendadak panas. Apa semerepotkan ini ya perasaan jatuh cinta? Semua hal kecil yang dilakukan Reka dulu jadi terasa berbeda.

"Nah, perfect!" Bisiknya di depan wajahku saat mahkotaku sudah rapi menurutnya.

Untuk beberapa saat kami terdiam dan saling menatap. Entah mengapa rasanya waktu begitu cepat berlalu antara aku dan Reka. Dulu kami bahkan masih suka ngompol di kasur saat TK. Tinggiku pun melebihi Reka saat itu. Tapi sekarang, untuk menatap wajahnya saja aku harus mendongak, meskipun Reka masih kalah tinggi dari Tama yang memang memiliki postur model.

"Kamu ... jadi tinggi, ya, sekarang, Ka," gumamku bodoh. Tapi Reka justru tertawa sembari mengusap tengkuknya.

"Dan kamu jadi kayak cebol sekarang," ledeknya sembari menyentuh ujung kepalaku dengan telunjuknya.

Not A Simple Love (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now