5. Berakhir (Revisi)

20.2K 2K 29
                                    

Suasana seketika senyap sejak aku memasuki ruang keluarga vila yang ditempati keluarga besar Tama.

Bahkan setelah belasan menit aku menduduki satu set sofa bersama Tama, masih saja tak ada yang bersuara. Lebih membuat frustasi lagi karena seluruh keluarga itu duduk mengelilingi aku dan Tama di tempat duduk masing-masing membentuk later U dengan tatapan penuh selidik ke arahku. Yang tentunya hanya dapat ku balas senyuman canggung.

Ingin rasanya aku lari saja dari situasi ini. Tapi tidak dengan Tama yang tanpa izin menggenggam tanganku erat! Sesekali aku berusaha melepas genggaman tangannya, tapi, semakin aku berusaha, semakin kuat dia menggenggam.

Mau dia apa sih?!

"Udah hampir 15 menit, nih, Ma. Kasihan tahu anak orang dibikin nervous gini. Lolosin aja lah." Akhirnya aku bisa menghela napas lega saat seorang wanita cantik yang kuperkirakan hanya beberapa tahun lebih tua dariku mengintrupsi dan mencairkan suasana beku.

Wanita paru baya beserta pria paru baya yang ku yakini adalah Tuan dan Nyonya Radjawangsa itu secara serempak memamerkan senyuman hangatnya padaku. Membuatku diserang perasaan ngeri dan lega di saat bersamaan. Bagaimana ada orang yang dapat merubah ekspresi secepat itu?

"Tante dan anak-anak Tante bikin kamu tegang, ya?" tanya Nyonya Radjawangsa ramah yang lagi-lagi ku jawab senyuma canggung, kali ini diiringi gelengan pelan.

"Habis kami semua heran saja gitu. Sudah belasan kali Papanya Tama menjodohkan dia dengan anak-anak rekan kerjanya. Tapi gak adaaaa yang nyantol satu pun. Lah, giliran nak Dara ini, dia malah ngotot ingin ajak kamu kenalan dengan kami," lanjutnya dengan kegirangan yang tidak ditutup-tutupi, meskipun kesan anggun memang perwujudan dari wanita paru baya di hadapanku ini.

Wow, belasan kali?

Aku sedikit takjub juga akan ke-anti-an Tama terhadap perempuan.

Meskipun saat ini aku tengah menahan gejolak amarah pada laki-laki yang masih setia menggenggam tanganku ini, tetap saja keanehan ini mengalihkan fokusku. Dari banyaknya perempuan di sekitarnya, termasuk cewek tipe model saat itu, kenapa harus aku? Kenapa harus Dara yang sebenarnya Dara palsu?

"Sejak pertama kali melihat kamu, Om juga sudah yakin kalau kamu bisa meluluhkan Tama. Anak Om ini memang dingin dan kaku, tapi Om jamin, dia itu laki-laki yang baik dan penuh tanggung jawab,"

Pertama kali melihatku? Kapan?

Aku mengabaikan ajang promosi Pak Prabu Radjawangsa soal putranya dan lebih ingin menuntaskan rasa ingin tahuku. Walaupun dalam hati aku ketar-ketir sendiri.

"Maaf, pak, apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanyaku.

Pak Prabu tampak mengerutkan keningnya sesaat. "Pernah, sekali. Mungkin setahun yang lalu. Di sana juga ada Ayahmu. Mungkin nak Dara sudah lupa," katanya yang langsung membuatku terserang panik seketika.

Kalau Pak Prabu ini pernah bertemu Dara, bukankah seharusnya dia mengenali wajah Dara dengan baik? Aku dan Dara memang lahir dari rahim yang berbeda. Namun, kami memiliki sedikit kemiripan dalam bentuk wajah dan juga hidung. Tapi, sedikit kemiripan itu tidak mengartikan bahwa kami sangatlah mirip untuk sulit dibedakan. Apa sedikit kemiripan itu tidak berlaku bagi Pak Prabu? Mendadak aku membalas genggaman tangan Tama cukup erat. Melampiaskan kegugupanku kalau-kalau Pak Prabu mengingat wajah Dara yang sebenarnya.

Aku dapat merasakan Tama menatapku dari samping, tapi aku lebih memilih menunduk.

"Nah, Nak Dara, yuk ikut Tante." Kegugupan yang kian menyesakkanku rasanya perlahan menguap saat sebelah tanganku yang bebas dari genggaman Tama diraih seseorang untuk mengikutinya. Nyonya Radjawangsa.

Not A Simple Love (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now