Aku mencium gadis kecil itu saking gemasnya. Meski yang dikatakannya hanya 'babababa' tetap saja terdengar imut dan aku senang jika dia terus berbicara meski mengganggu tontonanku. Sekali lagi aku menciumnya dengan gemas.

"Baba!!" bersamaan dengan kata 'baba' itu terdengar pula bunyi 'plakk'.

Bukan aku yang menampar, tetapi akulah yang ditampar. Tangan kecil Liora menampar mataku. Dilihat dari wajahnya dia tidak terlihat marah. Aku juga tidak bisa marah karena Liora sangat menggemaskan. Mana tega aku memarahi si bungsu.

"Kenapa mukul aku?" tanyaku meski tahu jawabannya adalah 'baba'.

"Baba." Mungkin dia minta maaf?

"Iya, aku maafin," jawabku berlapang dada.

"Baba!" Liora menarik jambangku. Kalau ini sih sakitnya bukan main!

Aku menekan tombol pause di laptopku. Akan kulanjutkan lagi setelah jambangku dilepas olehnya.

Tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Isabella yang tahu aku sudah pulang langsung berlarian menghampiriku. Tapi dia berhenti di ujung kasur sambil menatapku dan liora bergantian.

"Mesra banget, sih." Entah ini ungkapan bahagianya atas kekompakan adik kakak atau sindiran karena aku sudah tidak memanjakan dia lagi. "Dari luar pintu aku kira ada apa, jangan bikin yang denger jadi mengada-ada deh Bang," lanjutnya kembali berkomentar.

"Dia narik jambang aku dari segi mananya yang mesra," dengkusku. "Sini bantu lepasin tangan Liora dulu," pintaku pada Isabella.

Isabella pun membantu memisahkan Liora dariku. Kemudian menggantikan jambang dengan ponselku di genggaman Liora. Setelah itu Isabella beralih memijit pundakku, kemudian berpindah memijit kepalaku, lalu menggenggam telapak tanganku. Pasti ada maunya.

"Bang Deka, mana suratku," tanya Isabella dengan nada semanis mungkin.

"Nggak ada," balasku tidak kalah manis.

"Serius?" Aku mengangguk. Kulihat Isabella jadi patah semangat.

"Jangan dulu percaya kalau belum ketemu langsung. Bisa jadi yang ngirim itu orang nggak bener," kataku mengingatkan. Aku saja tidak tahu siapa yang selama ini mengirim surat untuk adikku. Dugaanku pengirimnya adalah teman sekelasku.

"Abang nggak pernah jatuh cinta, makanya nggak tahu perasaan dikirimin surat cinta kayak gimana. Susah jelasin sama orang yang nggak pernah jatuh cinta model Abang."

Dia duluan falling in love, padahal aku yang duluan lahir.

"Aku kan cuma ingetin doang. Teman-teman kelasku juga nggak semuanya waras. Kalau memang salah satu dari mereka pengirimnya, terus cuma main-main aja sama kamu kan aku juga yang—pokoknya paham kan apa kata Abang?"

Isabella mengangguk patuh. "Tapi kalau ada surat buat aku jangan dihalang-halangi, ya," pintanya. Aku menyanggupi hal itu. "Bang Deka juga mulai sekarang coba cari pacar, supaya kalau ... kalau ya kalauuuu misalkan aku dapet pacar duluan, Bang Deka nggak punya alasan nggak mau dilangkahi," lanjutnya.

Isabella satu-satunya yang selalu mengajakku deep talk di rumah kami. Walaupun aku lebih tua dirinya, tetapi masalah percintaan dia lebih mudah paham hal itu. Dia sering memberi masukan dan saran tentang percintaan padaku yang katanya terlihat lebih miris dipandingkan ponselku.

...

DALILA

Aku ngebut, bukan menggunakan kendaraan beroda, aku ngebut menggunakan kedua kakiku. Dua menit lagi tidak akan terlambat. Aku tidak ingin selamanya dicap sebagai tukang terlambat oleh Pak Pardi. Gerbang sekolah semakin terlihat. Aku mempercepat langkah kakiku. Ku lihat ada seseorang yang berdiri di tembok dekat gerbang sekolah. Padahal sebentar lagi gerbang sekolah akan ditutup, bukannya cepat-cepat malah sandaran di tembok.

Sekali Merdeka Tetap MerdekaWhere stories live. Discover now