Lima Puluh Satu

7.5K 311 3
                                    

Navasha tidak tenang dalam duduknya. Ia terus saja bergerak gelisah karena dipandangi oleh dua mata tajam milik laki-laki tampan dihadapannya. Setelah sapaan selamat pagi di depan pintu tadi, Una muncul dan menyilahkan Deo masuk ke dalam rumah. Una memaksa Navasha dan Deo duduk di ruang tamu padahal Navasha bilang mereka akan berbicara di luar saja.

"Ngapain sih liatin aku terus?" protes Navasha karena tidak tahan lagi. Rasanya ia sudah lumer dibawah tatapan Deo.

"Kamu cantik." Navasha tertunduk malu mendengar pujian spontan dari Deo. Ia memegang kedua pipinya yang terasa panas. Bagaimana mungkin ia yang hanya menggunakan baju kaus dan hotpants tanpa polesan make up di wajahnya dipuji cantik?

"Lagi buluk gini malah dipuji cantik. Gombal banget sih, Bang," cibir Navasha yang membuat Deo tergelak.

"Kamu selalu cantik di mataku." Navasha tidak tahu Deo punya berapa ribu gombalan yang mampu membuat pipinya memerah. Tapi, gombalan Deo harus dihentikan sebelum seluruh wajahnya berubah seperti kepiting rebus.

"Kamu ngapain di sini? Ada kerjaan? Kok bisa tahu alamatku di sini?" cerocos Navasha. Kedatangan Deo yang tiba-tiba menjadi tanda tanya besar di hati Navasha. Apalagi laki-laki itu sampai tahu alamat rumah Una. Pasti salah satu anggota keluarganya yang membocorkan pada Deo.

"Selalu bawel. Kamu banget." Deo ingin sekali mengacak rambut Navasha. Itu sudah menjadi kebiasaannya ketika gemas pada gadis itu. Sayangnya mereka duduk di sofa yang berbeda sehingga tangannya tidak bisa menjangkau puncak kepala gadis itu.

"Tinggal jawab aja, sih. Nggak usah pake ngeledek segala," gerutu Navasha.

"Aku kesini mau jemput calon istriku. Ada kerjaan? Ada, jemput calon istri. Tahu rumah ini dari mana? Dari informan terpercaya. Udah puas, Tuan Putri?" Deo menaikkan sebelah alisnya dengan senyuman tersungging di wajahnya.

"Salah alamat kalau mau jemput calon istri."

"Alamatnya benar, kok. Orangnya bahkan sedang duduk dihadapanku." Deo beranjak dari duduknya. Ia mendekat ke arah Navasha, lalu berlutut di hadapan gadis itu.

"De ... Deo, aku–"

"Jangan menolak lagi. Naya udah bilang semuanya semalam. Ketakutan serta keputusan kamu. Aku nggak mau terlambat makanya aku langsung nyusulin kamu kesini. Aku nggak mau biarin kamu menunggu lama lalu keputusan kamu berubah." Deo meraih tangan Navasha, lalu mengecup lama punggung tangan gadis itu.

"Aku takut," cicit Navasha tertahan. "Aku nggak mau ngerasain yang dulu lagi. Aku nggak akan kuat kalau harus disakitin lagi."

"Percaya sama aku, aku nggak akan bertindak bodoh lagi. Aku udah pernah ngerasain kehilangan kamu sekali. Aku nggak mau ngerasainnya untuk yang kedua kali atau seterusnya. Aku akan jaga kamu di sisiku."

Deo bangkit dari berlututnya, lalu memosisikan diri duduk disebalah Navasha. Salah satu tangannya mengenggam hangat tangan Navasha. Tangan lainnya mengusap pipi gadis itu.

"Aku cinta kamu, Sha. Mungkin udah berkali-kali aku bilang ini. Perasaanku ke kamu nggak pernah berubah sejak pertama kali kita pacaran. Meskipun aku menikah dengan Indira—kamu tahu alasannya kenapa—nama kamu tetap tersimpan rapat di hatiku. Selalu menjadi ratu di hatiku. Aku mohon, percaya sama aku. Kasih aku kesempatan. Aku pengen bahagiain kamu. Aku pengen mengobati semua luka yang aku kasih ke kamu. I love you, so much. Percaya sama aku." Navasha dapat melihat genangan air mata yang tertahan di kedua mata Deo. Dada Navasha menghangat begitu menyadari ia sangat berarti bagi laki-laki itu, bahkan bisa membuat Deo hampir menitikkan air matanya. Navasha ingat seseorang pernah mengatakan padanya bahwa ketika seorang laki-laki menangis karena seorang perempuan, maka berarti perempuan itu sangat berarti bagi hidupnya.

FatumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang