KEMATIAN, CINTA, DAN HUJAN

Start from the beginning
                                    

“Kenapa harus secepat itu? Apa yang sebenarnya terjadi?”

“Kau akan tahu nanti. Tolong bantu saya.”

Tangannya terangkat, mengelus lembut pipiku. Matanya mulai terlihat berair lagi. Dirinya masih terus berharap. Mungkin benar waktunya tidak sebanyak yang kumiliki.

Langkahnya terlihat terburu-buru, matanya mencari-cari ke segala arah pandangan yang dilihatnya. Hingga aku perlu berlari untuk mengikutinya. Sampai di seberang jalan, di seberang sebuah kafe kopi kecil—kafe di mana aku kehilangan payung hitamku di sana.

Wanita itu mulai tampak lega memandang kafe itu dari kejauhan. Dan kucoba memberanikan diri untuk menanyakan tempat anaknya itu bekerja.

“Apa itu tempat kerjanya?”

“Ya, dulu dia pernah mengatakannya pada saya. Tapi, entah dia masih bekerja di sana atau tidak.”

Matanya masih terus memandang kafe itu. Kakinya mulai melangkah ke depan, dan aku hanya bisa mengikutinya. Saat tepat di depan pintu kafe itu, wajahnya mulai ragu untuk masuk.

“Saya pernah datang ke sini. Bukan masalah untuk mencoba bertanya terlebih dulu.” kataku mencoba meyakinkannya.

Saat tepat di ambang pintu, wajahnya mulai percaya untuk mencari anaknya di sini. Kami memesan sebuah meja, di sisi jendela kafe ini. Meja di mana aku pertama kali duduk di sini, di sisi tulisanku di dinding—mencari keberadaan payung hitamku.

Seorang pelayan wanita datang menghampiri meja kami, meletakkan sebuah menu di hadapanku. Wanita itu mulai bangkit berdiri, mencengkeram lembut lengan pelayan itu.

“Apa anak saya di sini?”

“Siapa maksud anda? Sebaiknya anda segera memesan.”

“Di mana Reyn? Anak saya.”

“Oohh.. Maksud anda Reyn? Dia sudah tidak bekerja di sini, dia meminta resign kemarin. Mungkin dia ingin melanjutkan sekolahnya atau bekerja di tempat lain.” jawab pelayan itu dengan tenang, mencoba memberikan jawaban kepada wanita di hadapannya ini.

“Apa ada yang ingin anda pesan?” lanjutnya lagi, mencoba bersikap ramah.

Wanita itu kembali terduduk begitu mendengar jawaban tentang keberadaan anaknya. Matanya kini menatapku, yang semenjak tadi hanya diam.

“Terima kasih, atas bantuanmu. Saya harus pergi sekarang, tapi sebelumnya saya akan menitipkan pesan ini untuk anak saya. Kuharap kamu masih mau membantu saya untuk menyampaikan ini untuk yang terakhir kalinya. Terima kasih.”

Tangannya terulur ke atas meja, menyeret sebuah kertas ke hadapanku. Kini wanita itu mulai bangkit berdiri, menenteng tasnya, dan berjalan terseret keluar kafe dan pergi. Tanpa sempat aku mengatakan apa pun kepadanya.

Aku memandang pelayan yang masih berdiri di sisi meja, di hadapanku sekarang ini.

“Aku akan memesan nanti.”

Pelayan itu segera meninggalkan tempatku. Dan mataku tertuju pada jam dinding di dekat bar. Sepertinya, waktu yang kumiliki masih banyak untuk sekedar membaca surat itu. Tanganku meraihnya, membukanya perlahan.

Selamat tinggal, anakku..

Hanya satu kalimat untuk mewakili semua perasaan wanita itu. Perasaan cinta untuk anaknya, cinta yang melebihi apa pun sebelum akhirnya dia yang pergi.

Badanku terasa lelah untuk menopang segala pikiran di kepalaku, segera kusandarkan kepalaku untuk sejenak terebah di atas meja. Betapa beruntungnya anak  wanita itu, mempunyai ibu yang sebelum pergi ingin bertemu sejenak.

Seseorang menarik kursi di hadapanku, lalu duduk. Memandangku yang tengah kelelahan.

“Belum ada yang mengantar payung hitammu ke sini.”

Aku segera menegakkan tubuhku untuk memandangnya dengan jelas.

“Tempat ini adalah tempat penyesalanku, sungguh terkutuk. Karena baru saja seorang wanita juga mengalami penyesalan pada anaknya di sini.”

“Apa kata wanita itu untuk anaknya?” suaranya mulai terdengar pelan. Dialah pelayan pria yang melayaniku untuk pertama kali kedatanganku ke sini. Pelayan yang tak peduli pada payung hitamku yang hilang di kafenya.

“Sekarang apa pedulimu? Payungku tak kunjung ditemukan di sini, dan sekarang kau mencoba peduli pada orang lain yang tak kau kenal.” suaraku mulai meninggi.

“Sekarang tolong katakan, apa kata wanita itu untuk anaknya? Waktu istirahatku tinggal 5 menit lagi atau kau memilih untukku mengurungmu di sini hingga jam kerjaku selesai?” suaranya terdengar cemas menunggu jawabku.

“Sekarang pertanyaan yang mendasari semua. Apa kau adalah anaknya?”

Kini aku tak peduli siapa nama pelayan itu yang kemungkinan besar sama seperti anak wanita tadi. Yang kubutuhkan adalah jawabannya sekarang. Matanya mencari-cari, mencoba memilih jawaban yang tepat untuk bisa dijelaskan.

“Dia pergi, karena anaknya tidak ingin bertemu dengannya. Karena waktu yang dimilikinya hanya sebentar, sementara anaknya bersembunyi dan menolak ibunya sendiri. Yang bisa diucapkannya sekarang hanya selamat tinggal, anakku. Mungkin saja dirinya masih setia menunggu anaknya di halte, sebelum seorang yang lain menjemputnya.” jelasku tanpa menunggu jawaban darinya.

Kini kulihat dia mulai mengerjap, menyadari semua yang telah dilakukannya. Napasnya tercekat, tanpa bisa mengucapkan sepatah kata apa pun. Segera dirinya bangkit, melepas celemek yang melingkar di pinggangnya, lalu berlari keluar kafe dengan membanting pintu di hadapannya dengan kuat.

Saat kulihat dari sisi jendela, hujan lebat turun tanpa peduli pada apa yang baru saja terjadi, di siang hari di suhu yang tinggi di awal semua penyesalan terjadi. Kilat menyambar di langit, seakan ingin menunjukkan kemegahan petir setelahnya.

Namun, dia terus berlari menerobos hujan. Mencoba menyusuri jalan yang dilalui ibunya, untuk bertemu dengannya. Aku memandangnya bersama hujan.

Seorang pelayan wanita yang sebelumnya sudah datang menawari menu padaku, berlari mencoba mengejar dan menghentikan dia.

“Reyn.. Kau masih bekerja!!” serunya tanpa digubris oleh sang pemilik nama. Namun, dia segera membungkam mulutnya setelah memandang ke arahku.

Aku kembali meneguk sebuah kenangan seperti di awal aku datang ke sini. Kehilangan.

Langkahku kembali menyusuri jalan pulang, meninggalkan secarik kertas wanita itu di atas meja. Dan mencoba melirik sekilas ke halte.

Kudapati dia tersungkur di tanah, dirinya menangis tanpa bisa dicegah. Tubuhnya berguncang dalam tangis. Aku pun sama basahnya dalam kepiluan. Kulihat sebuah payung hitam mewah itu tergeletak di dekatnya, sementara di halte itu tak ada seorang pun selain dirinya.

Aku tahu Kyle tak ingin terlalu lama membuat dirinya menunggu. Sama sepertiku dan Reyn, Kyle tak akan memberikan kesempatan.

Tanpa tahu dan sebab yang pasti, hujan mencari tahu. Urung untuk dilakukannya namun Reyn jauh mendapat kesempatan itu, dirinya hanya mampu bersembunyi—tak berani menghadapi kenyataan ini.

Dan mulai kusadari sekarang, hujan kembali menjadi saksi cinta dan kematian milik orang lain. Dan hujan telah memiliki semuanya, lengkap bersama Kyle, malaikat kematianku.

©FYP

Sketsa Rindu untuk HujanWhere stories live. Discover now