20.2 - the villain

167 25 5
                                    

-Changkyun kemudian memutuskan untuk datang. Dia mencelupkan tangannya ke dalam air. Merasakan sapuan ombak di kulitnya. Rasa dingin yang menyakitkan. Terlebih di dadanya.-

-

Dia masih duduk di tempat tidurnya ketika ketukan di pintunya kembali terdengar. Dia beranjak dengan enggan, membuka pintu dan menemukan seorang kurir berdiri di depannya dengan senyum ramah. Barang yang Hyungwon sebutkan kemarin sudah sampai rupanya. Changkyun menerimanya dan tidak lupa tersenyum sebagai ucapan terima kasih. Dia masih enggan bicara untuk hari ini.

Dia membawa barang itu ke atas tempat tidurnya. Keberatan untuk sekedar mengingat alasan mengapa benda itu bisa sampai. Tentu saja dia hanya berbohong pada Hyungwon kemarin, dia sama sekali tidak siap dengan barang-barang ini.

Ingatan yang dia miliki tentang pemilik benda ini hanya membuat dadanya seakan dicubit.

Dia tidak mampu mengingat apapun lagi.

Changkyun beranjak dari tempat tidurnya. Menuju dapur yang dibatasi kain kasa dan mengambil segelas air dari keran. Rasa airnya seperti karat, tapi Changkyun tidak memiliki alasan mengeluh. Dia menimang-nimang sesaat kotak sereal yang tersimpan di dalam kulkas. Dia harus makan sesuatu, tapi dia tidak punya susu untuk menyantap sereal. Dia kemudian duduk di atas sofa tua dengan semangkuk sereal kering. Suara perempuan berteriak di luar kamarnya membuat Changkyun mengalihkan pandangan.

Dia hanya melihat permukaan pintu kamar. Dia tentu saja tidak memiliki kekuatan untuk melihat ke balik benda solid. Changkyun memutuskan menyalakan radio dan mendengar suara si penyiar yang nyaring. Lalu lagu-lagu jazz mulai terdengar.

Pada menit yang kesekian, Changkyun mendengar musik dansa yang populer di tahun 90-an memenuhi kamarnya. Dia melirik pada kalender di dinding, melihat bahwa hari ini adalah hari minggu dan acara radio yang biasa dia dengarkan memang memutar musik-musik klasik.

Changkyun menyandarkan punggungnya dengan lelah. Ketika matanya terpejam, dia bisa melihat dirinya dan kekasihnya menarik meja dan kursi ke dekat dinding untuk mendapatkan ruang yang luas di tengah-tengah. Mereka akan berdansa seperti dua angsa. Terkadang Changkyun akan menginjak kaki kekasihnya atau justru sebaliknya.

Mereka akan saling mendelik dengan kesal, tapi kemudian menjadi tawa renyah yang mengiringi musik dansa yang masih mengalun.

Bayangan itu hilang ketika Changkyun mendengar ponselnya berdering, dari suatu tempat di tempat tidur. Changkyun beranjak dengan terburu-buru, lupa bahwa dia membawa semangkuk sereal dan membuat makanan itu tumpah ke atas lantai. Dia sempat merengut, tapi memilih untuk mengambil ponselnya terlebih dulu.

"Halo?"

Changkyun melirik ke luar jendela, mengintip awan kelabu di langit. "Aku tidak tahu," dia berujar pada Hyungwon di suatu tempat. Changkyun menggosokkan tangannya ke atas bantal untuk mengusir keringat dingin yang tiba-tiba keluar.

"Yah, mungkin." Changkyun membalas dengan nada ragu. Dia terdiam untuk mendengarkan Hyungwon baik-baik. Dia menghela napas berat dan sadar Hyungwon akan mendengarnya. "Aku tidak akan pergi."

Panggilan itu berakhir ketika dia mendengar Hyungwon menarik napas bersiap untuk memulai kalimat. Changkyun terlalu takut untuk mendengar Hyungwon lagi. Belum ada satu jam sejak barang kiriman itu sampai, kini dia harus kembali mengingat hawa dingin yang membekukan tulang-tulangnya.

Dia tidak akan pergi hari ini.

Bersantai di dalam kamarnya, tidur siang beberapa jam, memasak, hal-hal seperti itu akan terasa lebih menyenangkan dibandingkan mengendarai mobilnya menuju dermaga yang mungkin akan disapu badai mengingat langit yang mulai gelap.

Telling 'bout Us [JooKyun ] (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang