2.3 - Married

617 85 24
                                    


Jooheon melirik jam di pojok layar komputernya lalu menghela napas. Waktu berjalan begitu lambat dan berat. Berulang kali dia memijat pelipisnya untuk meredakan rasa nyeri yang dia rasakan, dan meminum kopi dinginnya hingga habis. Dia melirik jam sekali lagi, lalu tanpa sadar menghembuskan napas dengan kecewa. Dia harus segera pulang.

Kaki Jooheon bergerak gelisah. Dia sudah menghubungi pelayannya puluhan kali dalam sehari untuk memastikan Changkyun baik-baik saja. Mungkin panggilan terakhir yang dia lakukan baru lewat 15 menit, tapi Jooheon kembali meragukan apa yang dia dengar.

Changkyun tentu masih di kamarnya, tidak menangis, tidak bertingkah gila. Jooheon menggigit bibirnya, lalu melirik pekerjaannya yang sudah dia selesaikan dengan cepat. Jooheon bingung dengan efek Changkyun padanya akhir-akhir ini. Karena Changkyun, Jooheon lebih sering merindukan rumah, lebih sering bicara tidak jelas dengan pelayannya untuk mengorek semua hak yang Changkyun lakukan.

Setelah hari itu, -pemerkosaan- Changkyun mengalami trauma yang parah. Bermimpi buruk setiap malam dan berteriak-teriak, juga mencakari tubuhnya hingga berdarah-darah. Dia meracau sepanjang hari dan kemudian jatuh tertidur bahkan pingsan. Tidak jarang Jooheon menemukan Changkyun meringkuk di pojok kamar mereka dengan lengan berdarah dan pisau tergeletak tidak jauh darinya. Changkyun merapalkan kata maaf berulang kali, menyelipkan nama Jooheon setiap kata maaf meluncur dari bibirnya yang bergetar. Dan menutup diri pada semua orang. Setiap kali bertemu Jooheon, Changkyun selalu menangis meminta maaf.

Jooheon bahkan mendatangkan dokter setiap minggu untuk membantu Changkyun, tapi tidak pernah berhasil. Berulang kali pula, ketika Jooheon kembali dari bekerja, para pelayanya berlarian seperti anak ayam kehilangan induknya. "Lee Changkyun menghilang," teriak mereka. Meski Jooheon merasa lelah, dia tahu Changkyun seperti itu karena dirinya juga. Seharusnya dia bisa melindungi Changkyun selayaknya seorang suami yang baik.

Sebagai suami yang baik, dia seharusnya sudah pulang. Sekarang. Benarkan?

Jooheon hampir melompat dari kursinya, menyambar ponselnya lalu menghilang di balik pintu. Pandangan Jooheon berkunang-kunang, sebentuk adrenalin mengalir dalam darahnya, mendesak dirinya untuk segera menemukan Changkyun. Memastikan dengan matanya sendiri bahwa Changkyun tidak mencoba bunuh diri lagi.

Seperti apa yang Jooheon pikirkan. Hampir setiap hari dia pulang dengan kondisi seperti ini. Tidak ada yang menyambutnya, orang-orang yang bekerja untuknya sedang sibuk mondar-mandir tidak karuan. Seorang pelayan tergagap mengatakan Changkyun mengurung dirinya lagi sejak Jooheon terakhir kali menelpon.

Mereka semua takut Changkyun mencoba bunuh diri lagi. Jooheon juga mengkhawatirkan hal yang sama.

Dia berlari menaiki anak tangga. Mengedor pintu seperti orang gila dan meneriakkan nama Changkyun berulang kali. Kunci beregemericing di tangannya. Tapi nampaknya Changkyun menutup pintu dengan sesuatu. Dia tetaplah laki-laki yang kuat.

"Kyunnie, kau dengan aku? Ini Jooheon. Bisakah kau membuka pintu? Tenang, hanya ada aku disini," Jooheon tidak menemukan kata pujukan yang lebih lembut. Kalimat itu seakan meloncat dari lidahnya saking paniknya.

"Kyunnie," Jooheon kembali mengetuk dan memanggil.

"..."

"Kyunnie, kau mengatakan sesuatu?"

" ... gi ... pergi ... aku ... kotor..."

Jooheon menggeram jengkel. Lalu memukul daun pintu dengan kepalan tangannya. "Jangan menyiksaku seperti ini," keluhnya.

Changkyun kemudian berteriak, diiringi suara benda-benda yang berjatuhan. Jooheon menatap para pelayannya, tatapan mengancam. "Katakan padaku tidak ada benda tajam disana," geramnya.

Telling 'bout Us [JooKyun ] (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang