Bab 32 : Sudah Cukup

8.9K 953 14
                                    

"Nona Li tidak ada di dalam, Doryeonim."

Hae Bin mengerutkan kening sebelum masuk ke dalam kamar yang ditempati adiknya. Benar saja, kamar itu kosong. Makanan yang diantar untuk Hanna kemarin malam masih tak tersentuh di atas meja. Bahkan futon yang harusnya kusut karena telah ditiduri masih rapi seperti yang Hae Bin lihat terakhir kali. Hae Bin mengeratkan giginya. Menghalau pikiran-pikiran buruk mengenai kemungkinan keberadaan sang adik yang melintasi kepalanya. Hanna pasti baik-baik saja. Perempuan keras kepala sepertinya tak akan mudah dilukai siapapun. Lagipula, jika kediaman ini disusupi, pastinya ada kekacauan di beberapa tempat. Satu-satunya hal yang masuk akal mengenai kekosongan ruangan ini adalah Hanna sendiri yang meninggalkan kamarnya.

Pertanyaannya : sejak kapan Hanna pergi? Dan ada dimana perempuan itu saat ini?

Tanpa membuang lebih banyak waktu, Hae Bin menyuruh pelayan yang ditugaskan melayani Hanna mencari adiknya di sisi utara kediaman, sementara ia mencari di sisi selatan.

Hasilnya? Tentu saja nihil.

Hanna tak ada dimanapun. Meruntuhkan ketenangan yang coba Hae Bin pertahankan di wajahnya. Ada banyak tanya, kecemasan, juga penyesalan. Seandainya saja kemarin Hae Bin lebih keras melarang Hanna mengunjungi tempat ini, mungkin adiknya itu tak perlu tertekan hingga memilih kabur seperti sekarang. Hae Bin memijit pelipisnya saat seorang pengawal yang diperintahnya memeriksa keadaan di luar pagar menghadapnya dan menggeleng. Mengabarkan bahwa Hanna juga tak ada di sana.

Kelihatannya Hae Bin harus menunggu beberapa saat lagi sebelum mengarahkan pengawal untuk mencari Hanna di sekitaran wilayah ini.

"Apa yang sedang kau lakukan di sini?"

Hae Bin memandang ke sumber suara dan mendapati Kim Seok Hwan, sang Ayah tengah menatapnya dengan pandangan ingin tahu. Hae Bin memperhatikan pria paruh baya itu sejenak dan sedikit lega karena kesehatan Seok Hwan sudah pulih. "Apa saya membutuhkan izin untuk berdiri di sini?" Hae Bin membalas datar. Walau ia khawatir dengan kondisi Seok Hwan, Hae Bin tetap belum bisa bersikap dengan selayaknya pada sang Ayah.

Seok Hwan tak menjawab. Memilih memandang hamparan bunga tulip yang tumbuh di taman kediamannya dalam diam. Semalaman ini Seok Hwan sudah berpikir. Tentang dirinya dan Hee Jin, tentang keluarganya sekarang, tentang kemarahan Hae Bin, juga ... tentang Li Hanna. Ada rasa sakit yang memenuhi dada pria itu saat mengulang percakapannya dengan perempuan cantik yang tak lagi bermarga Kim itu.

"Akan lebih baik mereka menganggap saya sudah mati. Putri yang tak berbakti seperti saya ini memang pantas melupakan dan dilupakan."

Putri tak berbakti katanya? Lalu bagaimana dengan tugas Seok Hwan sebagai Ayah? Apakah prilakunya selama ini bisa dibenarkan? Seok Hwan merasa tertampar. Penyesalan mendalam yang datang terlambat ini meruntuhkan segala ego Bangsawan terhormat yang dimilikinya. Membuat Kim Seok Hwan--untuk pertama kalinya dalam hidup--merasa malu dengan gelar Bangsawan yang disandangnya.

Seok Hwan tersenyum tipis. Ternyata kesedihan dan kemarahan membutakannya selama bertahun-tahun. Merasa ia adalah makhluk yang paling menderita di dunia ini. Tanpa peduli dengan penderitaan darah dagingnya yang disebabkan olehnya sendiri. Sungguh tolol. Dia menyalahkan Hae Na demi sesuatu yang tak nyata. Menyalahkan putrinya untuk hal yang bahkan tak dimengertinya. Betapa memuakkannya dirinya selama ini!? Hae Bin benar. Bagaimana mungkin ia masih pantas disebut Ayah setelah menelantarkan putrinya selama bertahun-tahun?! Benar-benar tak termaafkan.

"Abeoji..."

Seok Hwan tersentak saat satu usapan mampir ke pipinya yang basah. Ia langsung menatap si pemilik tangan yang kini menatapnya dengan perhatian penuh. Tak tampak sorot amarah yang tiga tahun terakhir didapatnya dari kedua netra itu. Hanya ada kilat sendu dan pengertian di sana. Seolah putranya itu mampu membaca pikiran Seok Hwan saat ini.

HANNA'S WORLDWhere stories live. Discover now