Bab 59 : Hamil

1.8K 172 13
                                    

Ra Eun memijat dahinya yang sakit.

Sudah hampir seminggu ini dia merasa pusing dan mual tiba-tiba. Tuan Besar Li yang mengetahuinya ingin memanggil Tabib, tapi Ra Eun yang tidak ingin merepotkan Tuannya menolak. Dia yakin kalau sakitnya ini hanya sementara.

Tadinya begitu.

Tapi semakin lama frekuensi sakit kepalanya meningkat dan rasa mualnya beralih menjadi muntah-muntah. Terutama ketika jam makan tiba. Meski memasak tidak dalam jobdesk Ra Eun, dia masih harus mengawasi pembuatan makanan dan mengantarkan makanan kepada Tuan Besar.

Pekerjaan yang sederhana itu akhirnya menjadi pekerjaan berat untuknya.

Terutama hari ini.

Dia sudah merasa lemas sejak bangun tidur. Dia bahkan bangun karena perutnya mual dan hanya bisa memuntahkan cairan. Jika dia mengawasi dan mengantarkan sarapan Tuan Besar pagi ini, apa makanannya akan aman?

Ra Eun tidak memiliki jawaban.

"Tuan Besar!"

Suara itu membangunkan Ra Eun dari lamunannya.

Dia berdiri, merapikan pakaiannya yang agak kusut lantaran lama duduk di atas lantai dan keluar dari kamar penginapan.

Keningnya berkerut saat melihat Tadashi bergegas masuk tanpa mempedulikan sopan santun ke dalam kamar Saudagar Li. Hanya ada satu hal yang akan membuat pria Jepang itu mengabaikan tata krama. Mata Ra Eun berkedip cemas. Dia langsung merasakan firasat buruk.

"Apa yang terjadi?" Dari balik pintu, terlihat Saudagar Li sedang berdiri di depan jendela dengan wajah tak terbaca.

Tadashi langsung berlutut. Kepalanya tertunduk dengan kalut. "Lapor, Tuan! Seorang pria dan seorang wanita tiba di sini beberapa waktu lalu. Mereka membawa Emblem Juhua milik Nona dan meminta dialog dengan Anda."

Wajah tak terbaca Saudagar Li retak. Mata tuanya penuh dengan kekhawatiran. "Bawa keduanya masuk!"

Seperginya Tadashi, Ra Eun mengetuk pintu dan menghadap Tuannya. "Tuan..." Ra Eun mendekati Saudagar Li. Ingin menyampaikan kekhawatirannya namun urung setelah membaca pesan tersirat di wajah Tuannya.

Saudagar Li mengerutkan kening. "Aku harap ini bukan seperti yang kupikirkan." Mata tuanya menatap suram ke arah pintu.

Tak lama setelah itu, Tadashi muncul diikuti oleh seorang perempuan dan seorang laki-laki yang saling bahu-membahu. Sekali lihat, siapapun tahu kalau keadaan dua tamu ini sedang tidak baik-baik saja. Perempuan itu berjalan pelan dengan kakinya yang timpang, mungkin terkilir atau malah patah. Sementara darah yang merembes keluar dari kain putih di lengan dan di mata kiri laki-laki itu terlihat sangat menyakitkan.

Ra Eun melebarkan matanya.

Laki-laki itu, yang sangat pucat dan kelihatan akan pingsan sebentar lagi adalah Gon! Song Gon!

Tenggorokan Ra Eun tercekat. Harinya sudah buruk sejak matahari terbit, dan dia secara spontan menangis ketika melihat lelaki yang dicintainya datang dengan berlumuran darah. Dia mencengkeram pinggiran hanbok yang dikenakannya. Berusaha menahan diri untuk tidak berlari menyongsong Gon yang sebentar lagi akan tumbang. Ya Tuhan... Bagaimana... Bagaimana hal seperti ini terjadi?

"Tuanku, saya adalah Ma Yoon. Penjaga yang ditugaskan untuk mengawal Nona Li oleh Yang Mulia Putra Mahkota." Perempuan itu berlutut dengan kakinya yang sakit dan memperkenalkan dirinya.

Saudagar Li mengerutkan kening. Dia tidak mengatakan apapun lagi dan hanya melambaikan tangan, meminta Yoon untuk melanjutkan.

Yoon memperhatikan gerakan itu dan dengan susah payah membuka mulutnya kembali untuk memberikan laporan. "Lapor, Tuan. Saya ada di sini saat ini karena Nona Li meminta saya  mengunjungi Anda untuk meminta bantuan."

Ra Eun dengan susah payah menerjemahkan.

Cengkeraman Saudagar Li di tongkatnya mengencang. Dia menatap dua orang itu dengan ekspresi datar. Seolah dia tidak ada masalah apapun yang masuk ke matanya. Namun siapapun yang mengenalnya akan tahu seberapa gugupnya Saudagar Li ketika sudah menyangkut tentang cucu perempuan tersayangnya Li Hanna. Diamnya Saudagar Li saat ini tidak terkecuali. Jantungnya sudah berdebar kencang karena takut sesuatu yang buruk terjadi pada Hanna. Saking gugup dan takutnya pria tua itu, dia membutuhkan waktu lama untuk memberi jawaban rendah pada dua orang yang terluka parah di depannya. "Apa yang terjadi pada Na'er?"

Di sampingnya, Ra Eun masih menerjemahkan meski kepalanya mulai berdenyut sakit.

Yoon menggigit bibir bawahnya, entah  karena rasa sakit atau karena rasa bersalahnya yang membuncah sebab tidak dapat memenuhi tugasnya sebagai pengawal. "Malam tadi, Yang Mulia Raja dibunuh. Yang Mulia Putra Mahkota menjadi tersangka utama. Dalam proses melarikan diri, Nona Li memaksa ikut. Saya dan Tuan Gon berpisah dengan keduanya untuk menemukan Anda dan meminta bantuan. Putra Mahkota dan Nona Li berhasil melarikan diri, namun kami ditemukan dan berakhir seperti ini." Yoon berlutut dengan sedih. "Tuan, tolong hukum saya karena tidak bisa melindungi Nona. Tapi tolong selamatkan Nona dan Putra Mahkota terlebih dulu! Saya memohon dengan nyawa saya!"

"Raja dibunuh... Putra Mahkota menjadi tersangka pembunuhan... Nona mengikuti Putra Mahkota lari dan keduanya dikirim untuk meminta bantu—"

Bruk

Sebelum Ra Eun menyelesaikan ucapannya, tubuh lemahnya sudah ambruk. Untungnya Gon yang sejak tadi memperhatikan wanita itu lewat sudut matanya menyadari tanda-tanda jatuhnya Ra Eun. Mengabaikan luka di sekujur tubuhnya, dia menerjang wanita itu dan menyelamatkannya dari menabrak lantai. "EUN-AH!"

Ketegangan di ruangan itu secara drastis berubah menjadi kegugupan melihat satu-satunya orang yang bisa melancarkan komunikasi dua arah di antara dua pihak tumbang.

Saudagar Li yang merasa jantungnya diremas ketika mendengar kalimat terputus-putus Ra Eun. Dia belum sempat mengeluarkan suara ketika Ra Eun jatuh di depan matanya.

Tadashi pun terkejut dengan pernyataan dan kejatuhan Ra Eun. Tanpa menunggu Tuan Tua mendelegasikan perintahnya, dia segera berteriak pada penjaga di bawah komandonya untuk mengumpulkan orang. Mereka siap menyelamatkan Nona mereka. Tak lupa pula, dia memanggil pelayan penginapan dan menyuruhnya untuk memanggil tabib untuk memeriksa Ra Eun dan dua tamu mereka yang terluka parah.

Teriakan Tadashi menyadarkan Saudagar Li seketika.

Pria tua itu duduk di kursi dengan kaki gemetar dan jantung berdebar. Setelah memejamkan matanya selama beberapa saat. Dia kembali membuka matanya ketika tabib yang biasanya datang untuk memeriksa kesehatannya datang dengan tergesa-gesa.

"Tuan Besar!"

Tabib Mo, pria paruh baya yang sudah  mengikuti Saudagar Li sejak dua puluh tahun lalu mendekati pria tua itu dengan wajah khawatir.

Melihat tatapannya, Saudagar Li tahu pria ini salah paham dengan kondisinya. Dia pasti mengira dia yang sedang tidak baik-baik saja. Dengan lambaian tangan, Saudagar Li menunjuk tiga orang yang harus dirawat saat ini.

Tabib Mo melihat tiga orang yang terluka dan mengenali satu wajah familiar. Meski kondisi dua lainnya sama memprihatinkan, Tabib Mo memilih untuk memeriksa Ra Eun terlebih dulu. Bagaimanapun, dia sedang tidak sadarkan diri. Tidak ada yang tahu penyakit apa yang mungkin dideritanya saat ini.

Meski Gon dan Yoon sama kesakitan, tidak ada satupun dari mereka yang mengomentari perilaku Tabib Mo.

Tabib Mo merasakan denyut nadi Ra Eun dan mengerutkan kening.

Melihat tatapan salah di mata Tabib Mo, Gon yang masih mencengkeram Ra Eun menggeram. "Apa... Apa yang terjadi pada Eun? Kenapa Anda terus menatapnya seperti itu?!"

Tabib Mo menatap Gon yang sudah terluka parah namun sempat mengkhawatirkan orang lain. "Siapa kau, Anak Muda?" Dia bertanya dengan aksen Korea yang aneh.

Pelukan Gon di tubuh Ra Eun semakin erat. "Apa yang salah?" Gon menolak untuk memberitahu Tabib Mo bahwa dia bukanlah siapa-siapa.

Tabib Mo menatap Ra Eun sejenak sebelum berkata dengan suara pelan. "Dia sedang hamil."

"Apa?!"

Don't Forget to Vote and Comment

Nawir-Chan

HANNA'S WORLDWhere stories live. Discover now