Bab 29 : Sudah Mati

9.4K 1K 8
                                    

Hanna menatap pria paruh baya di hadapannya.

Senyum masih mengembang di bibirnya. Walau kenyataan hatinya tersentil saat mendengar pertanyaan bernada dingin tanpa setitik pun kepercayaan dari Kim Seok Hwan. Tak perlu bantuan cenayang untuk mengetahui kalau pria itu sudah mengenalinya. Li Hanna, yang juga beridentitas Kim Hae Na.

"Kau serius mengalami semua kejadian itu?"

Hanna sakit hati, tapi ia tahu perasaan itu bukan miliknya. Ia yakin rasa sakit itu adalah milik Kim Hae Na yang asli. Perasaan sakit seorang anak yang dikhianati ayahnya. Hm, sebesar itu Kim Seok Hwan membenci putrinya sendiri. "Percaya-tidak percaya, itu semua hak anda, Tuan besar Kim." Hanna menahan segala gejolak dalam dirinya dan berusaha tetap tenang. "Kalaupun anda merasa saya mengada-ada, anda bisa menganggap saya sedang menceritakan kisah seorang anak manusia yang ingin mewujudkan impiannya."

Seok Hwan menaikkan alis mata. "Dengan perempuan sebagai pemeran utamanya?"

Hanna mengangguk. Mencoba menyantaikan diri saat berbicara dengan pria paruh baya itu. "Saya selalu suka kisah pahlawan-pahlawan berjenis kelamin perempuan." Hanna mengacungkan jari telunjuknya. "Ada satu legenda di Ming yang selalu menjadi favorit saya. Kisah ini pertama kali muncul pada abad ke 6 dari puisi sederhana berjudul Balada Mulan. Sederhana karena puisi itu hanya terdiri dari 360 kata. Inti dari puisi itu adalah bahwa Hua Mulan menggantikan ayahnya yang lemah dan tua ketika semua lelaki dari setiap keluarga dipanggil untuk bertugas sebagai prajurit untuk membela negara melawan penjajah. Mulan memang memiliki adik laki-laki, tapi pada waktu itu adiknya masih anak-anak, sehingga adiknya tak mungkin dikirim menjadi prajurit.

"Mulan adalah sosok pemberani. Sejak kecil ia sudah hidup dalam banyak tekanan yang membuatnya tak akan gentar dalam situasi apapun. Ia menjadi seorang ahli seni bela diri, terampil dalam pertempuran pedang dan memanah karena ayahnya mengajarkan kepadanya semua keterampilan tempur sejak muda.

"Selama 12 tahun Mulan hidup sebagai prajurit. Ia juga menyembunyikan identitasnya sebagai wanita agar tetap bisa menjadi prajurit Tiongkok. Ketika Mulan mendapat posisi tinggi, ia menolak dan memilih pulang ke kampung halamannya. Ketika sampai di rumahnya, Mulan kemudian kembali berdandan dan berpakaian menjadi wanita yang membuat semua pengawalnya terkejut dan memandang Mulan penuh kekaguman."

Ini pertama kalinya anggota keluarga Kim mendengar kisah itu. Di Joseon, wanita yang memegang pedang adalah hal tak lazim. Kodrat wanita di Joseon adalah untuk mematuhi pria. Wanita tak boleh terlalu pintar, tak boleh pula terlalu bodoh. Tapi Hanna malah menyukai hal-hal sebaliknya bahkan mempraktikkan hal-hal tersebut dalam kehidupannya. Bagi Hanna, wanita adalah makhluk yang sederajat dengan pria. Seperti pria yang bisa melangkah sesukanya, wanita pun harusnya boleh pergi ke manapun.

"Pemikiranmu menyalahi adat di Joseon, gadis muda." Kim Seok Hwan berpendapat. Kini nada suaranya sudah melunak. Mendengar Hanna bercerita, mengingatkan pria paruh baya itu pada mendiang istrinya yang gemar mendongeng. Walau sedih, kerinduan yang sedikit terobati di hatinya membuat Seok Hwan ingin mendengar suara perempuan muda ini lagi.

Hanna tertawa kecil. Dia meminum tehnya sebentar sebelum menjawab. "Anda bukan orang pertama yang berpendapat begitu, Tuan." Hanna mengerling pada Hae Bin yang masih memperhatikannya. "Tapi saya tak keberatan menjadi berbeda demi kebahagiaan diri saya sendiri. Hidup hanya satu kali. Mengharapkan orang lain untuk membahagiakan saya bukan pilihan."

Walau tak lazim, siapapun yang mendengar ucapan Hanna pasti akan setuju dengan pemikiran perempuan itu. Kim Seok Hwan sendiri terkejut saat menyadari dirinya ikut terpengaruh.

"Itu pemikiran yang cukup bebas, Nona Li." Hye Mi berkomentar. Tapi tak bisa menyembunyikan sinar kekaguman di matanya akan pola pikir Hanna.

Hanna tersenyum. "Memang pemikiran yang bebas, Nyonya. Beberapa Bangsawan Ming banyak yang mengkritik cara hidup saya. Dari langkah saya yang terlalu panjang, hobi saya yang aneh untuk perempuan Bangsawan, juga status saya yang masih melajang di usia ini. Tapi untungnya kakek selalu membela saya. Beliau selalu mengatakan 'apa yang cucuku pilih, bukan urusan kalian. Berhenti mengomentari hidup orang lain sebelum aku membeli Ming dan mengusir kalian'. Karenanya saya tak pernah mengambil hati apapun yang orang lain katakan."

"Saudagar Li sangat menyayangi anda." Ujar Dong Il.

Hanna mengangguk. "Beliau adalah orang pertama yang harus saya bahagiakan."

"Bagaimana dengan keluarga kandungmu?" Seok Hwan tak bisa menahan mulutnya untuk menanyakan hal itu saat mendengar bahwa Saudagar Li adalah orang pertama yang harus dibahagiakan Hanna.

Senyum sedih terkembang di bibir Hanna. "Saya tidak ingat, Tuan besar."

Seok Hwan tak mengalihkan sedikit pandangan pun dari Hanna.

"Dan kalau pun suatu saat nanti saya mengingat jati diri saya yang sebenarnya, saya tak akan mengunjungi keluarga saya secara langsung."

"Kenapa begitu?" Tae Hyun bertanya.

Hanna menghela nafas pelan. "Saya tak berani. Setelah tiga tahun menghilang, tiba-tiba muncul di hadapan mereka akan berdampak tak baik bagi siapapun. Dengan status dan pola pikir saya, mungkin saya hanya akan menyusahkan kedua orang tua saya." Hanna kembali menatap sang Bangsawan yang masih setia memperhatikannya. "Akan lebih baik mereka menganggap saya sudah mati. Putri yang tak berbakti seperti saya ini memang pantas melupakan dan dilupakan."

Hae Bin yang duduk di sebelah Hanna hanya bisa menahan nafas mendengar ucapan sang adik.

Sementara Kim Seok Hwan merasa ada yang hilang dalam dirinya sesaat setelah menyelami maksud ucapan Hanna.

Akan lebih baik mereka menganggap saya sudah mati.

Sudah mati.

Harusnya Seok Hwan merasa lega. Anak yang dibencinya meminta dianggap tiada. Anak yang menyebabkan Hee Jin-nya meninggal sudah tak ada di dunia. Ia tak lagi memiliki seorang putri. Semestinya Seok Hwan senang. Harusnya... begitu.

Tapi perasaannya sekarang ini malah tak menentu. Melihat Hanna sehat tanpa kekurangan satu apapun meminta dianggap mati mengacaukan perasaan Seok Hwan. Inikah yang diinginkannya? Kematian putri satu-satunya?

"Berjanjilah untuk selalu memastikan permata kita bersinar. Di situasi sesulit apapun, jangan biarkan ia bersedih terlalu lama."

"Aku berjanji padamu."

Janji Kim Seok Hwan pada Han Hee Jin.

Saat itulah Seok Hwan merasa kenyataan tengah menamparnya. Dia memiliki janji. Bukannya menepati, ia justru mengabaikan janji itu. Ia mengasingkan putrinya. Ia memanggil gadis tersayangnya pembunuh. Bukan hanya membiarkan Hae Na-nya bersedih terlalu lama, Seok Hwan juga membuat putrinya berharap dianggap mati saja.

Seok Hwan merasa udara di sekitarnya menipis.

"Tuan besar Kim!" Hanna yang masih menatap pria paruh baya itu yang pertama kali menyadari raut pucat sang Bangsawan. Tanpa banyak berpikir, ia bangkit berdiri dan langsung berlari menuju Seok Hwan. "Tuan? Anda baik-baik saja?" Jika tadi Hanna bersandiwara, maka saat ini tak ada yang lebih nyata dari kekhawatirannya.

"Abeoji? Anda merasa sakit?" Tae Hyun menyentuh punggung sang Ayah.

"Pengawal! Panggil Tabib Jo ke sini!" Dong Il berseru keras.

Song Hye Mi dan Choi Mi Jin--istri Tae Hyun--bergegas memanggil pelayan untuk menyiapkan kamar Ayah mertua mereka.

Sementara itu, di tempat duduknya Hae Bin masih tertegun. Selain Hanna, ia juga memperhatikan ekspresi sang Ayah. Melihat bagaimana pria paruh baya itu menanggapi ucapan Hanna, Hae Bin mengambil kesimpulan bahwa Bangsawan Kim sudah tahu identitas Hanna yang sebenarnya. Tapi Hae Bin belum bisa memastikan apa yang menyebabkan Ayahnya terlihat amat tertekan. Selain itu, tindakan spontan Hanna juga menarik perhatiannya. Perempuan itu meminta untuk dianggap 'sudah mati', tapi melihat kesehatan Seok Hwan yang mendadak menurun, ia yang paling terlihat khawatir.

Aneh. Apa yang sudah terlewatkan olehnya?

Don't Forget to Vote and Comment

Nawir-Chan

HANNA'S WORLDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang