Bagian XXIII - Acanthus Ilicifolius

696 84 5
                                    

"Lo percaya kalau Ameera bisa ngelihat masa lalu orang lain?"

Adalah pertanyaan terakhir Nico yang berhasil kuingat. Tepat saat aku menggenggam jemari Nico untuk menghentikan pertanyaannya, kenangan itu kembali menguar. Aku merasa sesak saat serbuan kenangan tentang Mama dan Papa memenuhi ingatan. Bukan masa kecilku. Bukan juga hari-hari indah yang pernah kami lalui bersama.

Aku berhasil melihatnya. Kejadian yang Nico hapus dari ingatannya itu sempat mampir dalam ingatanku. Mama dan Papa mengemudikan mobil menuju sekolahku setelah menjemput Nico. Lalu, tanpa di duga, dari arah berlawanan, sebuah truk besar menghantam mobil yang ditumpangi mereka. Terdengar teriakan panik Mama dan Nico. Aku sempat melihat tubuh Nico terpelanting jauh menabrak besi pembatas halte di dekatnya, sebelum akhirnya segalanya menjadi sangat gelap.

Aku merasakan takut merayap begitu cepat. Bahkan sampai saat ini, aku masih bisa merasakan betapa menyakitkannya itu untuk diingat.

Lalu entah bagaimana di sinilah aku berakhir. Terbaring di ranjang Valley Clinic and Hospital dengan tangan terpasang infus. Kaki dan tanganku terasa nyeri. Aku juga merasakan sakit di perut bagian kanan. Tempat Nico mendapatkan hantaman besi halte bis. Awalnya aku tidak benar-benar yakin sedang berada di mana sebelum akhirnya melihat jas putih yang melekat di tubuh atletis Dimasta. Logo rumah sakit besar ini tertempel di sakunya.

Aku baru saja akan membuka suara saat Dimasta akhirnya berkata, "Aku nggak butuh persetujuan kamu buat bawa kamu ke sini. Kamu pingsan tiba-tiba, dan Nico setuju buat bawa kamu ke sini. Hari ini, kamu udah mimisan dua kali."

Aku mengangguk saat mendengar Dimasta mengucapkan itu dengan begitu serius. Meskipun tidak bisa kupungkiri, getaran aneh itu seketika memenuhi dada. Dimasta belum pernah terdengar begitu protektif sebelum hari ini.

"Maafin aku," ucapku lirih.

"For What?"

"Kalian udah makan?" Tanyaku penuh sesal mengingat kenangan tentang orang tuaku itu datang sebelum makanan yang kami pesan terhidang.

Dimasta tersenyum kemudian mengacak ramburku lembut seperti biasa. "Nico makan di kafetaria rumah sakit sambil nunggu kami melakukan serangkaian test buat kamu. Masih bisa mikirin perut orang saat kamu harus ngelaluin serangkaian test sepagi ini?" tanya Dimasta.

Aku mengerutkan kening lalu tersadar. Test? Aku tidak perlu test apa pun untuk memastikan. Tidak ada yang salah dengan kepalaku–dan hidupku.

"Cuma Nico? Itu artinya kamu belum makan? Aku udah bilang, aku baik-baik aja, Dim. Dan test apa?" cecarku begitu mendengar jawaban Dimasta.

"Kami melakukan CT scan dan MRI sekaligus, Ra. Aku udah bilang kalau ini bukan kali pertama terjadi," jelas Dimasta tanpa rasa menyesal sama sekali telah melakukan kedua rangkaian test itu tanpa persetujuan sebelumnya. "Nico udah ngasih izin, Ra," lanjut Dimasta seolah tahu apa yang sedang kupikirkan. Namun, What? CT scan dan MRI? Itu artinya Dimasta baru saja melakukan pemeriksaan menyeluruh di tubuhku.

Sepanjang yang kutahu, CT scan dilakukan untuk mengetahui kondisi pada area dada, perut, saluran kemih, panggul, tungkai, kepala, dan tulang belakang. Sedangkan pada MRI scan, pemeriksaan dilakukan pada otak, saraf tulang belakang, jantung, pembuluh darah, payudara, tulang dan sendi, serta organ internal lain. Dimasta pernah menjelaskan perbedaan dua test ini saat dia menemukanku mimisan untuk kali pertama.

"Jadi itu alasan kenapa kamu pakai jas dokter padahal hari ini kamu libur?"

Dimasta tertawa. "Ada yang salah?"

"Kamu kerjain sendiri, Dim?"

"Nggak dong. Aku dibantu beberapa perawat dan dokter lain," jelas Dimasta.

"Kan kamu nggak perlu terlibat?"

"Kan aku nggak pengen kamu dipegang-pegang orang lain, Ra."

Ya Tuhan, Dimasta. Bahkan di saat seperti ini dia masih bisa menggodaku? Meskipun tetap saja, kalimat random Dimasta selalu berhasil membuat degup janjung kembali terpacu.

"Jangan bilang kamu juga yang–" Aku menutup mulutku cepat. Ingat jika aku harus mengganti pakaianku saat melakukan MRI. Siapa yang melakukannya?

Dimasta tersenyum lagi. Namun entah kenapa, aku merasakan sesuatu yang beda di wajahnya. Ia menatapku dengan cara yang tidak biasanya. Lalu belum sempat aku bertanya, sebuah kecupan singkat mendarat di bibirku. "Bukan. Meskipun aku biasa ngelakuin itu, aku takut lost control kalau pasienku kamu," kata Dimasta yang berhasil membuat pipiku kembali memanas.

Ini bukan ciuman yang dalam dan intens seperti sebelumnya. Seperti yang sudah kubilang, Dimasta melakukannya dengan sangat singkat.

"Jangan sakit lagi, Ra. Kamu tahu gimana khawatirnya aku tadi?"

"Dim," kataku memecah keheningan. Bukannya menjawab, aku justru memikirkan hal lain yang mungkin menjadi sebab kesedihan di wajahnya.

Dimasta menatapku dalam tanpa mengubah posisi duduknya.

"Sesuatu terjadi?" tanyaku penasaran.

Aku memang tidak melihat kilatan kejadian apa pun saat Dimasta mendaratkan kecupan. Namun aku melihat kesedihan menggantung di netra kelamnya. Ia lagi-lagi tidak menjawab. Senyuman yang sebelumnya menghiasi wajah tampannya perlahan memudar.

"Nico ngomong sesuatu sama kamu?" cecarku.

Dimasta menggeleng. "Nggak ada yang perlu kamu khawartirin, Ra. Lagi pula, kalau cuma kalimat sarkas, kan, aku udah sering denger dari kamu." Ia mencubit hidungku lembut. "Istirahat, ya," lanjut Dimasta tanpa peduli kekhawatiranku dengan perubahan ekspresi wajahnya.

Dimasta erapatkan selimut yang membungkus tubuhku.

Kami menatap ke arah pintu bersamaan saat terdengar dua kali ketukan dari luar. Tanpa menunggu jawaban, Nico berjalan masuk lalu memelukku. "Aku udah bilang kita pulang aja ke Jakarta. Kalau lo sakit kayak gini siapa yang mau jagain, Ra? Dimasta bilang lo udah beberapa kali mimisan dan tadi malah sampai pingsan. Gue nggak yakin bisa ninggalin lo sendirian di sini kalau kondisi lo kayak gini," kata Nico panjang lebar tanpa memberiku jeda untuk menjawab.

Aku hanya tersenyum dan menenggelamkan wajahku jauh ke dalam dadanya. Jika Dimasta sedang tidak bersama kami saat ini, aku pasti sudah mengomeli Nico panjang lebar. Dia jelas tahu sebab kenapa aku sering mimisan dan bahkan sampai pingsan hari ini.

"Ra, gue mau ketemu sama dokter radiologi dulu buat mastiin hasil CT scan kamu, ya," pamit Dimasta. Ia sempat menepuk bahu Nico sebelum berlalu.

"Thanks, Bro!" Akhirnya aku bisa melihat hubungan yang lebih baik di antara mereka.

Dimasta mengangguk dan tersenyum. Lagi-lagi, aku melihat senyuman yang tidak biasa. Dan sebelum ia meninggalkan ruangan, kuraih sebelah tangannya. "Kamu kenapa?"

Kamu kenapa? Ini adalah pertanyaan yang tidak pernah kuutarakan kepada Dimasta sebelumnya. Seberapa kusut dan berantakannya dia ketika bertemu, aku selalu berusaha untuk hanya menemaninya. Namun hari ini, aku merasa khawatir. Aku merasa, ia bersikap seperti ini bukan hanya karena merasa khawatir dengan kondisiku. Ada sesuatu yang sedang coba Dimasta sembunyikan dariku.

"Kita bicarain ini nanti ya, Ra? Kamu sembuh dulu," kata Dimasta. Aku sempat merasakan tangannya meremas jemariku lembut sebelum tubuhnya hilang di balik pintu kamar.

Aku merasa takut, khawatir dan sesak di saat yang sama. He perfectly took over my feelings.  

Chrysanthemum (Diterbitkan oleh KMC Publisher)Where stories live. Discover now