Bagian X - Chelidonium Majus

725 105 12
                                    

Bukan di apartemen. Alih-alih bangunan modern dengan furnitur dan barang-barang yang kupunya, tempat ini lebih mirip bangunan tua seperti yang terlihat di setiap sudut Museum Etar. Aku mencoba mengerjapkan mata sekali lagi, memastikan jika tidak salah lihat.

Aku tidak salah lihat. Saat ini, aku tidak sedang berada di apartemen. Namun di sebuah tempat asing dengan gaya pakaian dan suasana yang sama asingnya.

Pintu terbuka perlahan, lalu kulihat lorong panjang sejajar dengan ranjang tempatku berada. Dari tempatku duduk, terlihat tangga menuju ke lantai atas di ujung lorong. Begitu pintu terbuka, aroma roti panggang tercium. Aroma ini sangat mirip dengan restoran tradisional di area Museum Etar.

Aroma apak dan udara lembab ruangan tercium. Aku menerka jika sedang berada di sebuah ruangan bawah tanah saat ini.

Seorang lelaki paruh baya menghampiriku yang terduduk di ujung ranjang dengan tali di tangannya. Mata elangnya menatap nyalang, penuh kebencian, tetapi juga menyiratkan luka di saat yang sama. Dari warna mata dan kulit sawo matangnya, aku yakin jika dia adalah orang Indonesia.

Itu bukan papa, apalagi Nico. Aku sama sekali tidak mengenalnya.

Dengan ngeri, kutatap sosok lelaki yang kini semakin mendekat. Apa yang akan dia lakukan? Untuk apa tali itu? Apa arti tatapan itu?

"Tryabva da napusnete tova myasto!" teriak wanita di ujung lorong bangunan. Spontan membuatku menoleh. Wanita itu berbicara dalam bahasa Bulgaria yang berarti: kamu harus pergi dari sini.

Wanita berpakaian adat Bulgaria dengan tangan penuh tepung itu menangis. Dari wajahnya, tersirat kepedihan yang mendalam. Ia berkali-kali memintaku segera pergi, ia memintaku berlari.

"Jangan lakukan itu kepadaku, Pa!" seru seorang anak laki-laki yang entah sejak kapan sudah berada di ruangan ini. Di ujung ranjang yang lain, anak kecil itu terisak sambil memegang lututnya erat. Bibirnya membiru, bekas luka memenuhi lengan dan wajah.

Pipinya yang tirus dibasahi air mata, sementara telapak tangannya terus digosok tanda meminta.

Pria itu tidak sedang berjalan ke arahku, tapi menuju anak kecil itu berada. Teriakan wanita itu juga tidak ditujukan untukku.

Demi melihat pemandangan memilukan itu, mataku ikut basah. Kehangatan mengalir di setiap aliran darah, dan aku kembali merindukan sosok yang telah lama tiada. Lalu, tepat saat wanita itu mencoba mendekat ke arah kami, lelaki itu mengeram marah.

Ditutupnya pintu ruangan dengan keras. Seketika, rasa takut menyergapku. Beberapa tetes keringat dingin jatuh di pergelangan tanganku. Gemetar, kugerakkan kaki mencoba berdiri.

Aku berhasil berdiri, namun tetap belum mengerti apa yang sedang terjadi. Mataku fokus mengamati sekitar. Aku berada di sebuah ruangan pengap dengan pintu dan jendela tertutup rapat. Samar-samar, terdengar suara wanita dengan bahasa asing, yang entah bagaimana, bisa kupahami.

Kemudian, sebelum aku sempat mengerti apa yang sedang terjadi, lelaki itu mengikat tangan si anak dan menyeretnya dengan kasar.

"Seharusnya, kaudengar apa kataku. Sudah kubilang, jangan datang ke tempat kerja kami. Proyek baru pemerintah sudah membuatku gila. Kautambah lagi dengan rengekanmu. Kaupikir kami tidak lelah?" Pria itu memukul bahu si anak yang menangis dengan tongkat kayu yang didapatnya dari sudut ruangan.

Aku mencoba berlari ke arah anak kecil itu. Bagaimanapun, kekerasan terhadap anak sangat tidak dibenarkan. Namun langkahku tercekat. Kakiku sama sekali tidak bisa bergerak. Dari jarak sekitar dua meter, aku hanya bisa menatap anak itu penuh sesal.

Chrysanthemum (Diterbitkan oleh KMC Publisher)Where stories live. Discover now