Bagian XIV - Viburnum Opulus

656 94 3
                                    

"Seriously?" pekik Fanya saat mendengar arti dari kalimat berbahasa Bulgaria dalam mimpiku yang diterjemahkan Eliza.

Setelah dibuat blushing oleh Dimasta saat di Melnik satu minggu lalu, bukannya mendapat mimpi indah, aku justru dibayangi mimpi buruk itu lagi. Kali ini, wanita bertubuh gempal yang selalu mengenakan pakaian adat Bulgaria itu kembali berbicara dalam bahasa Bulgaria. Dari intonasi dan pengucapannya, aku yakin jika dia orang asli Bulgaria.

Shte vi izvadya ot tazi situatsiya. Adalah kalimat yang diucapkan wanita itu sebelum aku terjaga. Tidak ingin merasa sembarangan menerjemahkan dalam mimpi, aku menuliskannya di Leuchtturm1917 Notebook dan meminta bantuan Eliza.

"Ya. Kalimat ini berarti aku akan membawamu keluar dari situasi ini," jelas Eliza dengan bahasa inggrisnya yang fasih. "Kamu bisa berkonsultasi dengan Eren jika mau, Ra. Jika mimpi itu terjadi berulang–"

"Mimpi tentang apa?" potong Eren yang berjalan keluar lift dan bergabung bersama kami duduk di sofa yang ada di lobi lantai lima. Siang ini, kami memutuskan menghabiskan jam makan siang kami di kantor. Selain karena Bulgaria sedang berada di puncak musim dingin, juga karena aku harus membicarakan perihal mimpiku kepada mereka.

"Apakah mungkin mimpi bisa terjadi berulang, Ren?" penasaran Fanya.

Eren terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Dalam psikologi, mimpi yang terjadi berulang itu dipicu oleh aktivitas pikiran manusia yang bekerja layaknya sebuah komputer." Jeda. Eren menyesap coffe latte panas dari dalam cangkirnya sebelum melanjutkan penjelasan. "Bedanya dengan komputer sebenarnya adalah otak manusia tidak pernah berhenti mengolah informasi bahkan saat tertidur. Mimpi berulang itu bisa terjadi karena stres atau rasa khawatir berlebihan. Apakah kamu mempunyai masalah yang belum terselesaikan, Ra? Atau sesuatu yang coba kamu hindari?"

Eren, Eliza dan Fanya menatapku serius, meminta penjelasan. Sebenarnya bukan masalah, tapi akhir-akhir ini pikiranku justru terkuras karena mimpi aneh itu.

Aku akhirnya menggeleng. "Nothing," jawabku enteng.

"You just need to change the data on your brain, Ameera. Coba pikirkan, apakah kamu pernah melihat anak kecil dalam mimpimu itu sebelumnya? Atau apakah kemarin kamu sempat mempelajari Bahasa Bulgaria ketika berkunjung ke Melnik?" tanya Eren.

Aku menggeleng lagi. "Nothing, Eren. Aku sama sekali tidak memperhatikan apa yang dikatakan penduduk lokal. Dimasta menerjemahkannya untukku. Dan anak kecil itu, meskipun terlihat familier, aku yakin sekali jika kami belum pernah bertemu sebelumnya."

Eren mengangguk dan terlihat sedang memikirkan sesuatu. "Apakah kamu memiliki kemampuan khusus seperti clairvoyance atau sesuatu semacam itu?"

Kami semua terdiam. Fanya dan Eliza menatapku tidak sabaran. Aku bahkan baru mendengar istilah itu sekarang. Apakah itu istilah psikologi? Kemampuang macam apa? Aku sama sekali tidak punya gambaran lengkapnya.

"Apa itu?" penasaran Fanya.

"Sebenarnya, clairvoyance ini belum bisa sepenuhnya dibuktikan kebenarannya. Ada dua kubu pendapat yang berbeda, seperti biasa, pro dan kontra. Clairvoyance merupakan kemampuan seseorang mendapatkan 'penglihatan' tentang sebuah kejadian secara langsung. Bisa kejadian di masa lalu, saat ini atau masa depan." Eren meminum kopinya lagi setelah membuat tanda kutip dengan jarinya saat mengatakan kalimat penglihatan.

Aku, Fanya dan Eliza terperangah. Sama sekali tidak pernah membayangkan jika Eren akan mengambil garis kesimpulan seperti itu dari rentetan mimpi yang kualami. Sebenarnya, aku memang lebih sering mengalami mimpi buruk sekarang. Tidak hanya saat aku tidur di malam hari. Kadang mimpi itu tiba-tiba hadir saat sedang di kantor, memasak, bahkan saat Dimasta memelukku di Melnik hari itu.

Memang tidak seintens saat aku benar-benar bermimpi. Mimpi yang hadir tiba-tiba dan sangat singkat itu lebih mirip sebuah kilatan kejadian. Kilatan kejadian?

Aku dan Fanya saling melempar pandang. Hal mustahil yang sejak awal coba kami tepis menjadi dugaan terkuat Eren. Awalnya, aku memilih tidak menceritakan ini kepada selain Fanya. Namun, aku merasa agak terganggu saat kilatan kejadian itu muncul di waktu kerja seperti tadi pagi. Meskipun sekilas, mimpi itu berhasil mengubah suasana hatiku.

"Is there an other word for sixth sense?" tanya Fanya tanpa bisa menyembunyikan raut penasaran di wajahnya.

"True. Some people called clairvoyance as extra-sensory perception, psychic power, or sixth sense." Eren membenarkannya.

Sebelum tubuh sempurna membeku, aku sempat mendengar Eren mengatakan jika kemampuan ini hadirnya tanpa disadari. Kalimat selanjutnya yang diucapkan oleh ketiga orang ini tidak bisa kucerna dengan baik.

Aku pernah menonton sebuah film di NBC–yang aku lupakan judulnya–yang bercerita tentang beberapa orang pemilik kemampuan super seperti membaca pikiran, menjelajah ruang dan waktu, juga terbang. Sudah lama sekali dan aku tidak ingat detailnya. Namun, orang-orang dalam film tersebut juga diceritakan tidak menyadari kemampuan yang mereka miliki.

"Sepanjang yang kutahu, clairvoyance terjadi saat kita dalam kondisi sadar. Jika benar apa yang kamu alami ini clairvoyance, mungkin saja itu memang bukan mimpi, Ra. Kamu merasakannya seperti mimpi karena itu terjadi saat kamu hampir terjaga," jelas Eren menghentikan semua kebisingan di kepalaku.

"Thank you, Eren. Semoga ini tidak menimbulkan efek buruk," ucapku lirih. Aku masih tidak menyangka jika ketakutan yang sela ini hinggap dibenarkan Eren. Masih kemungkinan, tapi cukup membuatku memperoleh gambaran.

Eren memelukku singkat sebelum permisi untuk kembali ke ruangannya. Sementara Eliza dan Fanya masih sama bingungnya denganku.

"Coba lo pikirin baik-baik, Ra. Lo punya masalah apa selain sakit hati karena sebentar lagi Haris ama Tafissa mau nikah? Atau kejadian apa yang bisa memicu mimpi lo ini?" Fanya akhirnya membuka suara. Seperti biasa, Fanya menyelipkan 'bumbu' dalam kalimatnya. Ia mengatakannya dalam Bahasa Indonesia, dan entah mengerti atau tidak Eliza ikut tersenyum.

Aku menarik ujung bibirku ke atas. Pernikahan Haris dan Tafissa? Akhir tahun ini? Aku bahkan hampir melupakannya. Menyadari hal itu, aku bersyukur karena akhirnya berhasil menepis setiap sesak yang ditimbulkan.

"Ra, lo ada rencana malam ini? Gue sama Eliza mau nonton Under the Silver Lake di bioskop. Lo ikut?"

"Gue ada janji mau belanja titipan Nico, Fan. Lain kali, ya," jawabku penuh sesal.

Sejak tiba di Bulgaria pertengahan November kemarin, aku sama sekali belum punya cukup waktu untuk sekadar bersantai dan menonton film di bioskop. Dan saat aku berencana menghabiskan malam nanti dengan Fanya, Nico memintaku membelikannya beberapa barang antik khas Bulgaria. Absurd, kan? Nico bilang, salah satu temannya yang meminta.

"Lo kok nggak ngajak gue, sih?" selidik Fanya. "Atau jangan-jangan–"

"Iya gue sama Dimasta, Fan. Puas lo?" tukasku sebelum Fanya selesai dengan kalimatnya.

"Udah gue duga," ujarnya. "Lo nggak usah bohong kalau hubungan lo sama Dimasta udah masuk ke taraf yang lebih jauh sekarang. Udah ngapain aja?"

Serius. Sebenarnya apa yang Fanya harapkan dari hubunganku dengan Dimasta?

"Dimasta lebih tahu sudut terkecil Bulgaria dari pada lo, Fan."

Aku melotot ke arah Fanya. Ia tertawa puas, sementara Eliza ikut tersenyum.

"Ra, sekarang gue percaya, obat terbaik untuk patah hati adalah dengan jatuh cinta lagi. Ngomong-ngomong, Dimasta hebat juga, ya. Dia berhasil ngambil hati lo dalam waktu satu bulan. Dulu, Haris perlu waktu berbulan-bulan." Fanya menatapku sekilas. "Sekarang lo percaya, kan?"

"Apa?!" ketusku.

"Kalau lo sama Dimasta emang ditakdirkan buat bersama-sama."

Chrysanthemum (Diterbitkan oleh KMC Publisher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang