Bagian XXI - Hydrangea Macrophyla

733 95 21
                                    

Aku menatap nanar novel berjudul Nights in Rodanthe yang tergeletak di atas meja . Aku membeli novel ini ketika berkunjung ke toko buku di Slaveykov Square. Novel lama, dan merupakan salah satu karangan Nicholas Sparks favoritku. Novel ini menceritakan tentang kisah cinta Adrienne Willis dan Paul Flanner. Sama-sama sedang berusaha menata hati dari luka masa lalu, mereka memberikan penghiburan satu sama lain. Tanpa disangka, kebersamaan singkat mereka berhasil mengubah banyak hal. Termasuk perasaan mereka.

Sebenarnya, aku sudah membaca novel ini dua kali. Namun, Fanya berhasil membuatku membeli novel ini lagi.

"Lo sadar nggak, sih, Ra, kalau kisah cinta lo sama Dimasta ini mirip banget sama perjalanan cinta Adrienne Willis dan Paul Flanner di novel Nights in Rodanthe. Menemukan setelah kehilangan," ujar Fanya sambil mengambil potongan sandwich dari piringku. Sejak mengetahui kedekatanku dengan Dimasta, Fanya sering menyebutkan beberapa potongan adegan dari novel ini. "After your heartbreak, you let Dimasta into your life. Feelings fade, people change, you cry your heart out when nobody else seeing, but you cry in front of him. Lo bahkan rela nahan sakitnya retrocognition lo setiap kali barengan sama dia. Gila, sih. Kisah cinta kalian layak dibuat novel," lanjutnya.

Fanya benar. Segalanya berubah sejak aku bertemu Dimasta. Dari membaca novel-novel karangan Edgar Allan Poe, aku mulai kembali memenuhi daftar bacaan dengan cerita romansa. Dari tidak terbiasa menunjukan emosi di depan orang lain, menjadi lebih suka berekspresi. Waktu berlalu, dan perasaan berubah. Aku bahkan hafal salah satu kalimat dalam novel Nights in Rodanthe: Before we met, I was as lost as a person could be and yet you saw something in me that somehow gave me direction again.

"Udah berapa novel yang lo baca minggu ini, Fan?" sindirku sambil mengambilkan file laporan yang akan kuberikan kepada Fanya.

Fanya tertawa, lalu memasukan potongan terakhir sandwich ke dalam mulutnya. "Ya abisnya lo sibuk pacaran, Ra. Gue jadi gabut. Ngomong-ngomong, lo beneran sakit karena retrocognition, kan? Bukan karena Dimasta ngapa-ngapain lo?"

Tanganku refleks melempar gulungan tisu. "Lo perlu di rukiah kayaknya, Fan. Pikiran lo, ih."

"Lo tu yang perlu di rukiah. Emang ngapa-ngapain apa? Gue, kan, nggak bilang bobok bareng dan lain-lain," elaknya tanpa rasa bersalah. Dan kalimat terakhir Fanya. Astaga!

"Fan, itu materi presentasi udah kelar. Kalau angka dari lo udah fix, lo tinggal masukin ke konsep yang udah gue bikin aja. Sama kalau ada tambahan materi dari Mr. Krasimir. Lo buru berangkat, deh. Kepalaku tambah pusing denger lo ngomong gitu mulu dari kemarin." Enggan berdebat lebih jauh, aku mencoba mengalihkan topik. Lagi pula, aku meminta Fanya ke sini sepagi ini juga untuk materi rapat direktur nanti siang.

Fanya tertawa. Kalau bukan karena sudah merasa terbantu selama tiga hari terakhir, aku lebih memilih untuk tidak bertemu Fanya lebih dulu. Tahu alasannya, 'kan? Dia pasti akan melempar godaan secara frontal begitu tahu jika aku baru saja mengunjungi kediaman orang tua Dimasta.

Setelah kembali menyusahkan Dimasta selama perjalanan pulang dari Shiroka laka–juga Fanya setiba di rumah, aku mengambil cuti untuk beristirahat. Tidak hanya sakit kepala, serbuan kenangan yang memenuhi ingatan membuatku tiga kali mimisan selama perjalanan. Mereka berkali-kali memintaku berobat untuk memastikan beberapa hal. Dan aku menolaknya dengan tegas. Aku tahu sebab dari mimisan dan serangan sakit kepala ini. Bukan ke dokter, aku meminta Eren ke rumah sore ini selepas kerja.

Dimasta : Have some sleeps and don't forget your breakfast. Your pain is getting better, right?

Chrysanthemum (Diterbitkan oleh KMC Publisher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang