PART 63 : BETAH

8.9K 1.7K 272
                                    

Tangan Vanila yang berkeringat dingin terkepal. Ia berlari kecil mengikuti Rafli yang ditugaskan Pak Broto membawa Helen ke UKS.

Cowok yang bergabung dengan ekskul basket itu tampak tidak kesulitan menggendong Helen yang bertubuh langsing. Kayuhan langkahnya cepat dan rapat.

Sementara Late tertinggal di belakang, berusaha mengimbangi pacuan langkah Vanila. Sesekali ia berhenti mengambil napas. Memegangi lutut sembari mengipas-ngipas lehernya, mulai kepanasan.

Kalau rasanya sudah gerah seperti itu, sesak akan menjalar ke dadanya. Late tidak ingin asmanya tiba-tiba kambuh dan membuat situasi semakin kacau. Kasihan Vanila, pikirnya. Khawatirnya nanti jadi double-double.

"Van!" panggil Late ketika Vanila tertahan di depan pintu UKS.

Bu Karin, penjaga UKS, tidak mengijinkan gadis itu masuk. Rafli pun juga langsung kembali ke kelas, merasa tugasnya sudah selesai dan tidak memiliki kepentingan lain.

"Heh, tunggu di sini aja." Late menarik tangan Vanila, mengajak gadis itu duduk di sebuah bangku panjang yang tidak jauh dari UKS.

"Cuma pingsan doang gara-gara kepanasan," celetuk Late, mencoba menenangkan Vanila yang tampak cemas bukan main.

Vanila tidak merespon. Sepasang tangan gadis itu memegangi lututnya yang gemetaran.

Late meliriknya curiga. Seolah bisa menebak apa yang membuat Vanila diam mengabaikannya. Cowok itu beringsut lantas berdiri di depan Vanila. Tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba ia membungkuk. Sebelah kakinya ditekuk ke lantai seperti setengah berlutut.

Tangan kanannya lantas bergerak mendekati wajah Vanila. Masker gadis itu diturunkan sampai ke bawah dagu.

"Gue tahu pasti lo kayak gini lagi," tukas Late lembut sembari mengeluarkan sapu tangannya dari saku seragam. Dengan sabar diusap-usap bibir Vanila yang memerah. "Bukan salah lo, Van."

Gadis bar-bar yang biasanya banyak omong itu, hanya membalas ucapan Late dengan tatapan kosong. Ia tahu, apa yang dikatakan Late hanya sebatas kalimat penenang saja. Toh, Late pun sudah berulang kali menjadi saksi jika memang sumpah yang seringkali dilontarkannya menjadi kenyataan.

"Lagian ya menurut gue, tadi itu lo nggak nyumpahin dia, kok." Late berkata santai sembari membenahi letak masker Vanila setelah memastikan gadis itu tidak akan menyakiti diri lagi. "Yaah, semacam ngasih warning biar Helen lebih hati-hati, kan?"

Setetes air mengalir ke pipi Vanila. Gadis itu menunduk, tidak ingin Late menangkap basah dirinya sedang menangis.

"Van, jangan nangis, dong." Bukannya meredam tangisan Vanila, cowok itu malah turut berkaca-kaca.

Vanila mendongak. Mendapati bola mata Late memerah, rasa sedihnya pun jadi buyar.

"Heh! Lo ngapain ikut-ikut nangis?" Vanila mengusap air matanya sendiri lantas memukul kencang lengan Late.

"Ibaratnya hati gue ini kayak pajangan guci mahal di rumah gue. Kesenggol dikit ambyar." Late ingin berkata jujur jika dirinya adalah orang yang mudah berempati. Tapi tetap saja jatuhnya lagi-lagi sombong. "Susah cari gantinya, loh. Lo mesti kudu ke Eropa..."

"Stop!" Vanila mengangkat telapak tangannya tepat ke wajah Late. "Momen sedihnya udah nggak dapet lagi. Dasar perusak suasana, lo. Gue mau nengok Helen dulu, ah."

Late menyimpul senyum. Pelan-pelan mulai memahami bagaimana cara mengembalikan mood Vanila ketika sedih, marah, atau sedang kecewa.

"Noh, cowoknya udah dateng, tuh," tukas Late, membuat langkah Vanila terhenti.

VaniLate (SELESAI)Where stories live. Discover now