36. Life Journal (End)

Start from the beginning
                                    

Fiona selamat dari maut. Efek samping dari kecelakaan itu begitu terasa tapi bukanlah hal yang mesti dia keluhkan. Sebab dia beruntung masih punya kesempatan bernapas.

Bekas dari luka kecelakaan ataupun operasi sudah mulai pudar karena dia rajin melakukan perawatan, hanya kakinya saja yang masih belum sepenuhnya sembuh.

Fiona menyeret kakinya menjelajah isi ruang musik yang menjadi tempat favorit kedua di rumahnya. Dia sudah bisa berjalan, tetapi masih harus dibantu dengan tongkat elbow. Kecelakaan itu membuatnya cepat lelah kalau harus berdiri terlalu lama, terkadang justru merasa nyeri.

Berbagai terapi dia lakukan dengan patuh tanpa banyak mengeluh. Bukan hanya dia mesti berterima kasih atas kesempatan hidup, tapi juga dia tidak ingin membuat orang-orang yang menyayanginya terus mengkhawatirkannya.

Fiona menatap sebuah piala juga piagam penghargaan yang terpajang rapi di sebuah rak jati. Bersih tanpa ada debu. Benda-benda itu adalah hasil dari kegigihannya, simbol dari kemenangannya. Namun melihatnya kini terasa biasa saja.

Satu bulan sejak dia siuman, Justin-pamannya-menjenguknya bersama Tasya. Mereka memberikannya piala kemenangan, bukan hanya satu tetapi dari beberapa perlombaan termasuk yang di Swiss.

Justin mengakui ulahnya. Bahwa uang dan kekuasaan telah berbicara atas perintahnya. Dia melakukan segala cara hanya agar nama Tasya tetap menjadi nomor satu di setiap perlombaan yang Fiona ikuti. Dia enggak meragukan kemampuan Fiona, tetapi karena dia tahu potensi Fiona hanya akan menjadi batu sandungan bagi anaknya.

Justin tidak pernah menyukai Fiona. Dia menolaknya menjadi bagian dari trah keluarganya. Baginya, Fiona hanya orang asing yang kebetulan diadopsi oleh saudaranya. Justin hanya memegang teguh prinsipnya kalau anak asing tidak seharusnya mengungguli anak dari keturunan sah.

Namun, mendengar apa yang terjadi mulai dari keributan awal sampai akhirnya Fiona kabur dan kecelakaan, menjadi pukulan besar bagi Justin. Dia merasa sangat bersalah karena secara tidak langsung dia ikut andil dalam kekacauan ini.

"Sedang melamun, hm?"

Sebuah suara membuat Fiona terkesiap. Dia menoleh lalu mendapati Aldeh tengah berjalan menghampirinya. Hampir seminggu dia tidak melihat laki-laki tampan yang berjalan laksana pangeran.

Karena terpana, Fiona enggak mampu menjawab dan hanya menyengir.

Alden berbelok sebentar mengambil kursi roda yang tadi dia tinggalkan di dekat sofa. Kemudian menghampirinya lagi.

"Jangan terlalu lama berdiri, nyerinya bisa enggak tertahankan kalo kamu bandel." Alden membimbing Fiona untuk duduk di kursi roda.

"Udah enggak terlalu sih, Kak."

"Tetap saja kamu enggak boleh memaksakan diri. Saya selalu dapet laporan dari terapismu kalo kamu sering memaksakan diri saat sesi terapi."

Fiona mendengkus. "Jadi selama ini Kak Santi yang suka ngadu ke Kakak?"

"Bukan ngadu, saya yang minta."

Fioan menghela napas panjang. "Emang susah kalo punya cowok posesif."

Alden berjongkok di depan Fiona. Dia tersenyum lembut dan matanya terus memandang Fiona sampai perempuan itu salah tingkah sendiri.

"Kak?"

"Iya?"

"Kenapa ngeliatinnya gitu? Kok lama-lama serem ya?"

Alden mengusap pipi Fiona dengan usapan lembut. "Kamu cantik, saya jadi kangen terus sama kamu."

Segera Fiona menutup wajahnya dengan kedua tangan, menyembunyikan rona merah yang menjalar di kedua pipinya. Dia masih enggak terbiasa mendengar kata-kata manis Alden apalagi dibarengi dengan tatapan seolah dia satu-satunya perempuan cantik di dunia. Tatapan yang begitu lembut tetapi sarat akan kekaguman.

Sejak mengenal Alden, Fiona tidak pernah mendapati tatapan semacam ini karena keterbatasan laki-laki itu. Yang bisa dia lihat hanya tatapan kosong yang begitu hampa. Kini tatapan itu berubah begitu meriah seolah ada banyak hal yang ingin Alden lakukan.

Dan jujur saja sampai hari ini Fiona masih belum terbiasa dengan Alden yang sekarang. Alden yang sudah bisa melihat tampak berkali-kali lipat lebih menawan ketika sedang menatapnya. Namun dia senang karena Alden tampak lebih leluasa dan nyaman.

Alden tertawa melihat tingkah kekasihnya.

"Ngomong-ngomong kamu udah menentukan apa yang ingin kamu lakukan kedepannya?"

Pertanyaan Alden membuat Fiona sontak menurunkan kedua tangannya. Dia mengangguk antusias. "Aku mau kuliah."

"Kuliah?"

"Musik." Fiona menjeda sesaat. "Di Swiss."

Murung langsung menggelayuti wajah Alden. "Kenapa harus Swiss?"

"Karena di sana yang terbaik."

Alden terdiam hanya menatap jemarinya membuat Fiona perlahan tahu apa yang sedang dipikirkan pria itu.

"Kak Alden enggak usah khawatir. Aku emang punya pengalaman buruk di Swiss tapi enggak semua tentang Swiss itu buruk, kok. Kupikir aku memang harus belajar musik karena aku menyukainya. Aku ingin bisa membuat musikku sendiri dan mengajari banyak orang tentang musik, sama seperti Kak Alden."

Alden mengambil napas dalam-dalam. "Meski saya keberatan, saya tahu kamu akan ngotot. Dan saya enggak bisa menghalangi kamu untuk hal-hal yang ingin kamu lakukan."

Fiona agak terharu mendengarnya. "Ini beneran, Kak?"

Alden mengangguk pelan. "Swiss tetap akan jadi tempat paling buruk buat saya, tapi demi kamu saya akan atasi semua ketakutan saya. Kalo kamu benar-benar ingin kuliah di sana, saya bisa mengurusnya sekalian juga saya urus perpindahan kita."

"Kita?"

"Iya kita. Saya akan terus bersama kamu, menemani kamu. Saya harus memastikan kamu selalu baik-baik saja dalam jangkauan mata saya. Fiona ... bagi saya asal kamu bahagia, saya akan lakukan segalanya."

Senyum Fiona merekah. "Segalanya itu termasuk ... menikah?"

Alden mengecup punggung tangan Fiona. "Termasuk menikahi kamu."

Tamat




walau sangat terlambat tapi akhirnya bisa kembali dengan sebuah ending untuk Alden dan Fiona

terima kasih sudah membaca Imperfect Coach. seperti alden yang enggak sempurna, cerita ini pun demikian. ada banyak cacat/plot hole yang seharusnya direvisi tapi dibiarkan aja dulu karena gak punya waktu wkwk

ada extra part atau enggaknya kita lihat aja nanti lah ya

happy kiyowo





instagram : @vanialianna
karyakarsa : Vania Lianna

Imperfect CoachWhere stories live. Discover now