17. Kemalangan Fiona

6.5K 555 25
                                    

Absen dulu yuk kalian daerah mana

.
.
.

"Gila! Gede banget rumahnya." Ica menatap kagum rumah Alden begitu dia turun dari mobil Fiona. "Dari pintu gerbang ke teras rumahnya aja lumayan nguras tenaga kalo jalan kaki."

Fiona tertawa geli melihat respons Ica. Dulu saat pertama kali datang ke sini, Fiona juga terkagum-kagum.

Mereka masuk ke dalam rumah setelah melihat Kris menyambutnya. Kris langsung mengarahkan mereka menuju ruang makan karena Alden sendiri saat ini sudah di sana.

"Rumah orang kaya biasanya banyak guci-guci, ini gue enggak lihat sebiji pun," komentar Ica dengan berbisik.

Fiona ikut menjawab dengan berbisik. "Yang punya rumah, kan, enggak bisa lihat. Kalo gucinya enggak sengaja ketendang, pecah, terus nusuk kaki, apa enggak modar?"

Ica merinding membayangkannya. Dia terus melihat kagum isi rumah Alden.

Begitu masuk area dapur, Fiona melihat Alden tengah duduk di kursi. Di telinganya terpasang earphone seperti tengah mendengarkan lagu.

"Kak." Fiona menepuk bahu Alden. "Aku udah dateng sama temen aku, Ica. Ica ini Kak Alden."

Alden melepas earphone-nya lalu mengangguk. "Hm."

"Sumpah ternyata aslinya ganteng banget, Na," bisik Ica pada Fiona.

Fiona terkekeh. "Iya, tapi punya gue." Fiona menjulurkan lidah membuat Ica cemberut.

"Duduk."

Fiona mengiyakan ucapan Alden. Dia duduk bersebarangan dengan Alden, sementara Ica ada di samping Fiona. "Tumben ngajakin makan. Emang Kakak suka bakso?"

Alden tersenyum kecil, tanpa beban dia menjawab, "Saya suka."

Kris yang berdiri sedikit lebih jauh mengawasi mereka, terbatuk mendengar jawaban Alden.

Selagi Bi Marni menyiapkan bakso mereka, Fiona memutuskan membuka topik pembicaraan. "Tadi Bu Ratna bilang sama aku, minggu depan ada evaluasi hasil latihan aku."

"Hm, saya sudah dengar juga. Kita masih ada dua kali pertemuan sebelum evaluasi."

"Tapi ...." Fiona menundukkan kepala. Meremas kedua tangannya.

"Kenapa? Kamu gugup? Tidak percaya diri?"

Alden terlalu tepat sasaran. Walau sudah sering mengikuti lomba menyanyi mewakili sekolah, tetapi sebenarnya Fiona tidak begitu percaya diri. Pada kenyataannya dia tidak selalu mendapat juara satu kalau ada Tasya dalam perlombaan itu.

Saat dia membawa pulang juara dua ke sekolah, mentalnya cukup terguncang. Sebab tidak sedikit murid-murid yang jadi meragukan kemampuannya.

Fiona menjilat bibir bawahnya yang kering. "Gugup itu wajar, kan?"

Alden mengangguk. "Percaya sama saya, kamu pasti akan mendapat penilaian bagus bukan cuma dari guru kamu, tapi juri-juri di perlombaan."

Sebenarnya Fiona punya pertanyaan yang masih mengganjal di hatinya. Namun mendengar ucapan Alden, Fiona merinding. Dia merasa itu bukan hanya sekadar ucapan.

"Baksonya sudah siap."

Ucapan Bi Marni membuat Fiona urung menanyakannya. Ini bukan waktu yang tepat. Dia tidak ingin merusak suasana. Terlebih di sini ada Ica.

Ica sendiri yang merasa tidak berguna karena tidak tahu apa-apa hanya mengangkat bahu tidak peduli dan memilih menikmati baksonya dengan khidmat tanpa banyak tanya.

Imperfect CoachKde žijí příběhy. Začni objevovat