21. Piknik Bersama

6.2K 536 23
                                    

Mata Alden terbuka. Dia mengatur napasnya. Beberapa hari ini dia memimpikan neneknya. Biasanya Alden akan senang, tetapi entah mengapa belakangan dia merasa gelisah.

Di dalam mimpi neneknya tidak pernah lagi menerima setiap uluran tangannya. Selalu melepaskannya entah seberapa keras Alden bilang ingin digenggamnya. Alden takut, kalau-kalau mimpi itu mempunyai makna bahwa tidak lama lagi neneknya akan pergi meninggalkannya.

Di dunia ini tidak ada lagi yang berarti bagi Alden selain neneknya. Kalau orang yang begitu dia sayangi pada akhirnya juga meninggalkannya, bagaimana Alden masih sanggup menjalani hidup?

Sudah lima tahun neneknya terbaring koma. Kondisinya kian hari justru memburuk. Dokter bilang sangat kecil kemungkinan Emma Serge bertahan hidup selain dengan alat-alat yang menopang hidupnya.

Walau neneknya tidak bisa membuka mata, terbaring koma, setidaknya Alden masih bisa merasakan kehadirannya. Kalau sampai hal buruk lainnya terjadi, Alden ... tidak berani walau hanya membayangkannya.

Alden menggeliat ketika pinggangnya mulai sakit. Dia benar-benar benci situasi seperti ini. Dia yakin akan sulit untuk terlelap lagi. Baru saja memiringkan badan mencari posisi yang nyaman, ponselnya berdering. Alden meraba nakasnya.

Nada dering ini sudah Kris setting untuk Fiona. Jadi Alden langsung tahu siapa yang menelponnya. Hanya saja dia bisa menebak mengapa Fiona menelponnya malam-malam begini.

"Tidak bisa tidur?" Alden langsung menebak ketika mengangkat telepon.

Terdengar Fiona tertawa. "Kok tahu?"

"Pilihannya cuma dua, kamu tidak bisa tidur atau kamu kurang kerjaan menelepon seseorang malam-malam."

Fiona terkekeh. "Kak Alden sendiri kenapa belum tidur?"

"Saya terbangun." Alden diam sebentar. "Ini jam berapa, Fiona?"

"Jam satu pagi."

"Sebaiknya kamu cepat tidur. Besok masuk sekolah, kan?"

"Besok itu hari libur, Kak."

Saking sibuknya bekerja, Alden sampai lupa hari. "Oh iya, saya lupa."

"Kak Alden besok ada acara? Jalan-jalan, yuk?"

Alden mulai melupakan sakit pinggangnya dan tenggelam dalam obrolan bersama Fiona. "Saya orang sibuk."

"Terus kenapa kalo orang sibuk?"

"Saya banyak pekerjaan. Enggak ada waktu untuk main sama bocah." Alden menyunggingkan senyum kecil saat mengatakannya.

"Aku bukan bocah!"

"Terserah, deh! Pokoknya besok Kakak harus temenin aku jalan-jalan. Kalau enggak-"

"Kalau enggak apa?" Alden memotong ucapan Fiona.

"Kalau enggak aku bolos latihan!"

Alden terdiam sesaat. Pada akhirnya dia mengikuti mau Fiona. Lagian Fiona tidak boleh sampai bolos latihan. "Ke mana kamu mau pergi?"

"Em ... itu belum aku pikirin. Pokoknya besok pagi aku ke rumah Kak Alden, Kakak harus udah siap."

Mendengar permintaan Fiona yang sangat menggebu-gebu, Alden tidak sanggup menolak. "Oke."

***

"Fiona, ada Paman kamu di bawah. Kamu cepat turun."

Fiona yang baru mandi dan masih menggunakan bathrobe, menatap Karlina bingung. "Ngapain pake turun sih, Ma?"

Imperfect CoachWhere stories live. Discover now