25. Kematian Oma

5.8K 495 101
                                    

Hal yang membuat Kris sedikit lega adalah kondisi Alden. Pria itu tidak histeris bahkan ketika jenazah Emma Serge datang ke kediaman utama keluarga Serge. Namun hal yang membuat Kris khawatir adalah Alden terus saja diam. Bibirnya terbungkam rapat. Yang dia lakukan hanya menemani jenazah neneknya yang mana itu adalah kali terakhirnya dia bisa melakukan itu.

Hari ini seharusnya jadwal latihan Fiona, tetapi karena hari ini adalah pemakaman Emma Serge, mau tidak mau latihan itu harus ditunda. Lagi pula, Kris tidak yakin Fiona akan datang latihan. Namun untuk mengantisipasi, dia berusaha menghubungi Fiona yang sayangnya tidak diangkat juga. Akhirnya Kris mengirim pesan pada Fiona.

"Alden masih enggak mau makan atau minum? Wajahnya pucat."

Kris sedikit terkejut dengan perhatian Leo. Dia menoleh dan menggeleng kecil. Dalam kondisi berduka seperti ini, bagaimana Alden sanggup untuk memikirkan dirinya?

Momen ini tidak tertahankan. Sebagaimana Alden berduka, Kris pun merasa begitu kehilangan. Sosok wanita yang begitu baik padanya, hari ini beliau harus berpulang. Menitipkan Alden pada Kris untuk terus dia jaga sampai kapan pun.

Kris menatap Alden sendu. Dia hanya berharap tuannya dapat melalui kehilangan ini dengan tegar.

***

Fiona, latihan hari ini ditunda. Tuan Alden sedang berduka, neneknya meninggal dunia.

Tatapan Fiona terpaku pada deretan kata-kata yang dikirim oleh Kris. Jantungnya berpacu cepat ketika membaca kalimat itu, dan memikirkan bagaimana kondisi Alden saat ini.

Fiona bergegas bangkit dari kasur Ica. Dia membuka lemari sang pemilik kamar dan mencari beberapa pakaian.

"Eh, lo mau ngapain?" Ica sedikit kaget dengan tindakan tiba-tiba Fiona.

"Gue pinjem baju hitam lo." Fiona menoleh pada Ica. "Ca, temenin gue ya? Hari ini neneknya Kak Alden meninggal."

Ica linglung sesaat sebelum akhirnya mengangguk tergesa.

Setelah siap, keduanya bergegas pergi. Fiona sudah menghubungi Kris untuk menanyakan di mana neneknya Alden akan dimakamkan. Skill mengemudi Ica memang patut diacungi jempol saat terdesak seperti ini. Sehingga tidak butuh waktu lama untuk mereka tiba.

Fiona dan Ica menyusuri area pemakaman elite. Di kejauhan dia melihat Alden dan beberapa orang yang masih di sana. Fiona tidak langsung mendekat, dia menunggu sebagian pelayat pergi dan menyisakan Alden dan beberapa keluarganya.

Alden menggunakan kemeja hitam yang sudah tampak kusut. Rambutnya kali ini terurai, membuat beberapa anak rambutnya menutup wajahnya ketika pria itu menundukkan kepala. Dan kacamata hitam yang tidak pernah absen itu, tidak lagi mampu menutupi betapa menyedihkannya sorot mata laki-laki itu. Fiona bisa merasakannya.

Perlahan Fiona mendekat. Kris mengangguk padanya ketika menyadari kehadirannya. Fiona tidak langsung bicara sebab dia merasa Alden tidak butuh kata-kata dari orang lain.

"Al, Fiona dateng." Kris berbisik di dekat telinga Alden. Namun pria itu tetap bergeming.

Langit sore yang mendung perlahan mulai gerimis. Seolah langit ikut menyuarakan kesedihannya atas berpulangnya Emma Serge. Seolah bisa memahami bagaimana Alden merasa kehilangan.

"Sebaiknya kita pulang, Al. Udah mulai hujan." Kris hendak meraih lengan Alden, tetapi baru saja disentuh, Alden menepisnya.

Alden menekuk kakinya, berjongkok di dekat makam Omanya. Tangannya meraba permukaan tanah, lalu perlahan mengusap nisannya. Alden tidak menangis, tidak juga histeris. Dia merasakan kesedihan yang mendalam, tetapi dia tidak bisa meneteskan air matanya. Seolah di sana Omanya melarangnya untuk menangisinya.

Imperfect CoachWhere stories live. Discover now