25.

173 36 4
                                    

"Manusia tidak punya sopan santun sepertimu tau apa soal kesantunan."
-Elang Ganendra-

.
.
.

Clara dan Oceana berdehem canggung. Setelah kejadian Arana-marah-di-kelas-bahasa, keduanya merasa bahwa Arana sekarang lebih sedikit berbicara dan lebih sering menatap sekitar dengan pandangan tajam dan datar.

"Ara?"

"Hm." Clara dan Oceana saling pandang lalu mengedarkan tatapan mata pada sekitar ruang kesehatan.

"Tolong ucapan Xaquila kemarin jangan dimasukkan ke hati. Maafkan dia. Emosi Xaquila sedang tidak stabil." Arana mendengus pendek lalu menatap bergantian dengan pandangan tajam pada Clara dan Oceana.

"Terus peduli apa kalian berdua sama gue? Semua kata-kata udah terlanjur keluar nggak bisa ditarik lagi, dan kalian berharap gue nggak masukin kata-katanya ke hati? Pandangan remehnya, kata-kata lancangnya, cuma orang berhati lapang yang bakal maafin orang kayak gitu dan sayang beribu sayang, gue nggak termasuk golongan itu." Sahut Arana tajam.

"Ta--"

"Stop. Gue nggak butuh omong kosong. Gue nggak butuh penjelasan. Kalian boleh pergi." Arana menunjuk pintu ruang kesehatan yang tertutup.

"Pak Angga menyu--"

"Bodo amat anjing! Gue nggak butuh ditemenin. Pergi." Arana memutar bola matanya jengah. Moodnya masih berantakan sekali, membuatnya seribu kali gampang marah dan kesal. Tangannya masih menunjuk pintu ruang kesehatan. "Pergi."

"Ara."

"JUST GO AWAY!" Teriakan Arana yang menggema di ruang kesehatan membuat Clara dan Oceana spontan memundurkan langkahnya karena terkejut. Clara menghela napas. "Oke. Kita keluar. Cepet sembuh Ara."

"Gue nggak sakit." Ketusnya seraya mengambil ponsel yang ada di atas nakas.

Suara pintu yang kembali terbuka membuat Arana langsung menghela napas panjang. "Keluar. Waktunya pasien istirahat njing."

"Tapi aku ingin berkunjung."

Arana mendongak lalu menatap sang pemilik suara dengan tatapan bosan. "Bukannya ada latihan? Ngapain lo disini?"

"Menjenguk kamu. Apalagi?"

Arana menepuk jidatnya. Salahnya memang jika bertanya seperti itu pada Dejun. "Jun, gini, maksudnya itu sekarang kan ada latihan. Lo kok bisa kesini?" Terangnya dengan nada malas.

"Aku punya kaki."

"Jun, astaga! Stress gue lama-lama!"

Dejun meringis, "aku kira kamu akan tertawa karena bercandaan ku barusan." Arana melotot, "lawakan yang mana njing? Lo ngelawak dibagian mananya?"

"Aku juga tidak tau sebenarnya. Tapi, aku ingin melihat kamu tersenyum atau tertawa. Mukamu masih kaku sekali." Dejun melangkah mendekat lalu merogoh saku almamaternya dan mengeluarkan sebungkus yupi dari sana. Dejun menarik salah satu tangan Arana lalu menaruh sebungkus yupi itu pada telapak tangan Arana.

"Aku pernah membaca artikel di internet, katanya mood perempuan bisa membaik dengan cepat kalau mereka diberi konsumsi yang manis-manis."

Arana melihat sebungkus yupi di telapak tangannya lalu mendengus geli, "nanggung lo kalo cuma beli sebungkus. Beli lima kek, kalo satu ya manisnya ga berasa."

"Ya kalau mau makan yupi di depan cermin saja." Arana langsung gagal paham. Kolerasinya yupi dengan cermin apa?

"Kolerasinya apa sat?"

I'm not AgentWhere stories live. Discover now