12.

199 50 1
                                    

"Arana Daniswara? Segalanya."
-Anggakara Arnawama.










.
.
.
.
.





"RA! Clara!"

Clara mengerjap saat Arana menggoncangkan tubuhnya keras. "Kamu kenapa? Ada apa?"

"Ponsel gue ilang!" Clara terdiam sebentar dengan wajah kaku lalu menaikkan sebelah alisnya, "kok bisa? Kamu terakhir kali menaruhnya dimana?"

"Lupa."

Clara menepuk dahinya keras lalu menghela napas lega tanpa sadar. Arana berdecak, "kalau gue tau terakhir kali tuh ponsel gue taruh dimana, sekarang gue pasti gak akan cari tuh ponsel dan langsung nemu."

"Kita cari nanti. Sekarang cepat mandi dan ganti baju. Kita harus segera ke ruang makan." Clara sebisa mungkin menghindari lebih banyak kontak mata dengan Arana.

"Gue nggak bisa hidup tanpa ponsel." Arana meneruskan pencariannya untuk menemukan ponsel.

Clara menaikkan alisnya tidak percaya. Baru kali ini dia berinteraksi dengan seorang yang sangat mementingkan benda berbentuk persegi panjang itu.

"Aku lebih tidak bisa hidup tanpa keluarga. Ponsel tidak penting sama sekali." Arana menghentikan kegiatannya mencari ponsel lalu menatap datar Clara.

Keluarga?

"Lo yang keluarganya lengkap tau apa soal kehidupan gue?" Arana mendengus kasar lalu mengambil handuk yang tergeletak di kursi belajarnya. Dia menutup pintu kamar mandi lumayan keras. Clara menghela napas.

Apanya yang lengkap? Aku bahkan kehilangan mereka berdua dalam waktu bersamaan. Clara hanya tersenyum masam.

Clara berjalan mendekati lemari dan matanya tak sengaja menemukan kalung perak dengan ukiran rumit sepanjang kalung itu, juga bandul menyerupai singa sebagai ikon utama kalung itu. Clara menyerngit sesaat lalu mengambilnya dan menaruhnya di meja Arana karena Clara yakin itu milik Arana. Tapi dirinya kembali mengerutkan kening, ia seperti pernah melihat kalung yang sama persis dengan yang ada di meja Arana sekarang.

"Ra lo duluan aja! Gue mau dateng telat!"

"Tapi kamu tid--"

"Ngerti! Udah sana pergi!"

🔥I'm not agent 🔥


Arana menghela napas bosan. Matanya menatap jengah papan tulis yang penuh dengan rumus. Dia merogoh saku lalu tersadar akan satu hal.

Ponselnya masih belum ketemu.

Arana berdecak lalu menjatuhkan kepalanya ke meja. "Bosen."

"Arana Daniswara! Perhatikan guru dan duduk dengan tegak!" Arana menghela napas panjang lalu menegakkan badannya.

"Mata saya dari tadi lihatin papan tulis terus kok bu."

"Diam!"

"Ibu yang cantik jelita bak putri disney. Maaf bu, ini mulut saya. Saya berhak berbicara dan semuanya terserah saya karena ini mulut saya."

"Tidak sopan. Jangan berisik atau kamu saya keluarkan dari kelas." Arana mendengus pelan lalu menganggkat kedua tangannya dan berpose menyerah.

Keadaan kelas matematika kembali hening dan kondusif setelah Arana memilih mengalah berdebat.

Arana menguap lebar. Matanya tiba-tiba terasa sangat berat. Arana memutar kepala dan tatapannya jatuh pada Elang yang tengah fokus mendengarkan penjelasan guru didepan.

I'm not AgentWhere stories live. Discover now