32

11 1 0
                                    

"Asrama ini tidak memiliki sistem yang transparan, lagipula semuanya sudah ditetapkan saat bangunan ini diresmikan. Para agent yang ada hanya akan diperas sampai mereka mati."
-Elang Ganendra

Arana menyusuri koridor yang lengang. Murid yang lain masih menetap di ruangan putih tadi, tampaknya akan ada sesi evaluasi sehingga mereka menetap. Arana sih bodo amat, yang penting dia tidak melewatkan senyap malam dan merelakan jam tidurnya.

Mungkin karena sekitarnya terlalu lengang, Arana jadi bisa mendengarkan suara langkah kaki miliknya sendiri dan juga satu orang lain yang melangkah tidak jauh dibelakangnya. Arana tidak menahan diri, gadis itu langsung membalik badan lalu menatap sosok didepannya.

"Rangkumin aja eval gue. Gue beneran ngantuk sumpah enggak bohong Lang." Ucapnya mendahului Elang yang belum sempat mengatakan kalimatnya.

Elang mendengus samar lalu melangkah mendekat untuk membungkam mulut Arana dan membawa gadis itu masuk dalam ruangan yang tidak terkunci. Arana mengerjap lalu memberontak seraya memelototi Elang yang mengisyaratkan dirinya untuk diam.

Arana menginjak kaki Elang kuat, membuat laki-laki itu menggerang. Arana mendengus, "lo dul-"

"Shhh!"

Elang kembali membungkan gadis itu lalu mengukungya di tembok, membuat posisi keduanya makin dekat.

"Belum, mereka tampaknya masih ragu-ragu kalau ada penyusup di akademi ini."

Arana mengerutkan dahi lalu menatap Elang dan berbisik. "Ini kita mata-matain orang?" Elang menatap nya datar lalu mengangguk singkat dan makin mendekatkan muka, membuat kepala Arana spontan mundur sampai terantuk dinding. Elang berbisik, "diam."

Arana mengangguk cepat lalu mendorong kepala Elang agar mundur seraya berbisik, "mulut lo bau ampas kopi."

"Belum bisa, sialan. Kamu pikir hanya aku yang menyusup di tempat ini? Musuh akademi ini banyak sekali. Ada banyak penyusup, jadi sabarlah. Aku harus membentuk aliansi dulu."

Arana mendengarkan seksama, seru juga menguping seperti ini meskipun konteks nya belum jelas. Arana menggeser kakinya sebab mulai merasa kesemutan, tapi tidak sengaja menginjak kantung sampah didekatnya dan menimbulkan suara cukup keras.

Arana membeku, suara dibalik pintu tiba-tiba terhenti dan Elang yang menahan decakan sebal.

"Sebentar, ada orang lain di dekat sini. Aku harus menyelesaikannya."

Elang menatap sekitar, tidak banyak tempat untuk bersembunyi. Laki-laki itu memperkirakan jarak langkah kaki dengan pintu, memikirkan beberapa rencana lalu menarik tangan Arana.

Pintu ruangan terbuka beberapa detik setelah Arana dan Elang masuk ke dalam lemari kosong cukup tinggi dekat meja kerja.  Arana tidak berani bergerak, selain tempatnya sempit sekali, dia juga merasakan Elang menatapnya tajam sekali, seakan laki-laki yang menghimpitnya itu akan menelannya bulat-bulat.

Elang membungkam mulut Arana, posisi mereka membuat hidung dan dahi Elang menempel pada Arana. Tangan Elang yang lain meremat lengan Arana. Keduanya kompak menahan napas saat langkah kaki kian mendekat menuju mereka.

Elang berbisik, lirih sekali. "Kalau pintu ini dibuka, aku tendang mukanya dan kamu lari. Aku akan menyelesaikannya sendiri."

Beberapa detik kemudian, pintu lemari tempat mereka bersembunyi, terbuka lebar.

—00—

Angga membuka pintu lalu mengedarkan pandangannya pada penjuru ruangan. Dia melangkah masuk, menatap sekitarnya lebih lamat agar bisa menemukan Arana tapi gagal. Lantas Angga melangkah mendekat pada sosok familiar lain di ruangan itu.

"Clara?" Yang di panggil dengan cepat menengokkan kepala lalu membungkuk singkat. Angga mengangguk saja lalu kembali mengedarkan pandangannya sekilas sebelum menatap mata Clara. "Arana, dia tidak disini?"

Clara mengangguk, "tidak ada pak, tadi saya sempat bertanya pada teman se-tim nya. Sepertinya Arana ada urusan dengan Elang sebab keduanya tidak berada disini."

Angga mengangguk lalu mengucapkan terimakasih dan melangkah keluar dari ruangan untuk menyusuri koridor. Harusnya Arana dan Elang belum jauh, kecuali jika mereka berlari.

Angga menyusuri koridor yang lengang saat ponselnya tiba-tiba berdering keras, membuatnya terkejut sendiri. "Babi, kaget." Laki-laki itu merogoh sakunya dan menatap nama penelepon seraya tetap melangkah dengan suara pantofel yang menggema.

Angga menerima telepon lalu langkahnya terhenti pada pintu gudang yang terbuka setengahnya.

"Kenapa?"

"Berkas. Kemari."

Panggilan dimatikan sepihak, membuat Angga mendecak lalu melanjutkan langkahnya masuk ke dalam gudang. Dahinya mengerut, jendela terbuka, dan dia mendengarkan suara aneh dari dalam lemari.

Angga menatap sekitar lalu menggenggam sapu erat seraya mengarahkannya pada lemari. Sepertinya ada penyusup yang gagal masuk. Tanpa menunggu lama Angga langsung membuka pintu lemari lebar-lebar dan menodongkan gagang sapu yang sedetik kemudian patah menjadi dua karena di tendang keras.

Angga mengerjap, Arana ikut mengerjap, sementara Elang menghela napas samar.

"Kalian berdua ngapain anjir?" Itu kalimat pertama Angga setelah selesai dari keterkejutannya. Arana mendengus lalu berusaha keluar dari kukungan Elang, membuat lemari berderit dan alas duduk Arana patah menjadi dua. Membuat Elang spontan menarik pinggang Arana ke atas dan membuat tubuh mereka menempel.

Arana mengerjap sekali, sementara Elang masih tetap konstan dengan muka datarnya.

"Adegan tidak senonoh ini namanya." Angga mendengus gusar lalu mendekati Arana dan Elang lalu membantu Arana keluar dari lemari dengan muka masam. Arana mendengus lalu berdiri dan menepuk ringan bajunya untuk menghilangkan debu.

"Berani beraninya lo deketin tunangan gue."

Elang mendengus lalu ikut keluar dari lemari gue. "Terlalu mendalami karakter dalam sebuah drama akan membuatmu jatuh keras." Angga memeluk bahu Arana lalu menatap Elang sengit. "Bacot, sana lo."

Elang tidak mendengarkan Angga, laki-laki itu mendekati jendela yang terbuka lalu mengamati sekitarnya lamat. Siapa tau dia bisa menemuka sidik jari yang tertinggal.

Arana mendengus geli lalu menepuk cukup keras perut Angga beberapa kali. "Udah jangan marah." Angga manyun lalu menunjuk Elang. "Dia nyebelin."

"Emang, tapi yang tadi itu kita lagi mata-matain penyusup yang ada disini."

"Beneran penyusup?"

Arana menganggukkan kepalanya sementara Elang berbalik lalu menatap Angga. "Hentikan memasukkan orang baru di tempat ini. Sudah terlalu banyak penyusup."

Angga mengangguk saja, "kecuali orang suruhan yang tugasnya buat lindungin orang. Gue udah tutup jalur masuk."

"Lindungin orang?" Elang menganggukan kepalanya. "Ada nyawa yang dijaga mati-matian di tempat ini. Peraturan tidak tertulis yang hanya akan diketahui begitu siswa akademi lulus dan sudah terikat kontrak."

"Lindungin siapa sih emang? Daniswara ya? Dia emang egois sih. Ah tapi dari banyak orang kenapa gue juga dijadiin babunya?"

"Lo kebanyakan ngelawan sih."

"Babi."

Angga terkekeh geli melihat wajah masam Arana dan menyempatkan diri untuk mengusak kepala gadis itu. "Bercanda sayangg."

Arana mendengus lalu menatap Elang. "Kalau gitu ini peraturan sepihak, egois banget dong? Lulusan tahun sebelumnya nggak ada yang ngelawan perintah?"

Elang menggeleng. "Tidak ada, lulusan akademi memang punya misi abadi untuk melindungi satu nyawa itu, tetapi lulusan akademi juga ditugaskan untuk misi-misi lain selama masa bakti mereka."

Arana mendengus, "brainwash ya?" Elang menggelengkan kepalanya. "Tidak juga karena, mereka tidak menolak."

Mereka takut untuk menolak.

—00—

Tertanda,
Nalovzz
29-05-2023

I'm not AgentWhere stories live. Discover now