| 02

6.5K 517 36
                                    

"Yoon, sudahi pekerjaanmu. Ini sudah pukul sembilan."

Lelaki berhidung mancung itu menghela napas saat gelengan kecil ia terima. Dengusan kasar terdengar. Ia mengangkat bokongnya dari atas sofa untuk mendekati lawan bicaranya.

"Hei, restoran sudah tutup sejak satu jam lalu. Kau sudah bekerja sedari siang bukan? Berhentilah bekerja. Kasihani tubuh lelahmu--"

"Kau pulang duluan saja, Seok-ah. Aku akan tetap di sini. Hanya sampai piring-piring ini selesai kucuci."

"Ya Tuhan!" Hoseok berseru. "Kau harus pulang sekarang! Ayo kuantar! Sekalian, agar aku tahu di mana letak rumahmu," lanjutnya frustasi. Tak habis pikir dengan jalan pikiran sahabatnya ini. 

Ia menarik tangan Yoongi, memaksanya meninggalkan peralatan kotor di wastafel. Tapi lagi-lagi, sebuah penolakan ia terima.

"Lihat, Seok. Hanya tersisa beberapa piring dan gelas lagi. Setelah ini aku akan pulang, janji!"

Dan Hoseok hanya bisa menghela napas panjang. Sebab, ia tak akan bisa menang dari keras kepalanya seorang Min Yoongi.

***

Yoongi benar-benar menyelesaikan pekerjaannya. Tapi waktu yang katanya 'hanya sebentar' itu menjelma menjadi satu jam lamanya. Pukul sepuluh ia berbalik sembari menyunggingkan senyum lebar, yang sukses membuat Hoseok mendengus tak suka. Bukan tak suka dalam artian negatif, ia hanya tak suka sahabatnya kelelahan. Raut lelah yang terpampang di wajah Yoongi--walau Yoongi bekerja di restoran Ayahnya-- Hoseok benar-benar membencinya.

"Ayo pulang, kuantar!" Hoseok berujar. Lebih terdengar seperti perintah sebenarnya. Namun, kata-kata itu tak akan berlaku bagi Yoongi.

"Tidak perlu."

Desisan kesal terdengar. Hoseok mengusap wajahnya kasar.

"Lalu kau pulang dengan apa, Min?! Mau berjalan ditemani angin malam yang dingin, dengan pakaian tipis seperti itu? Aish! Aku tahu kau tak bodoh!" pekiknya frustasi. Tapi tak disangka, Yoongi mengangguk.

"Aku jalan saja Seok, lagi pula rumahku dekat."

Hoseok mengerang kecil saat Yoongi mendahuluinya dengan berlari kecil keluar restoran. 

Bagaimana ia bisa berjalan saat waktu menunjukkan pukul sepuluh malam? Ditambah suhu luar ruangan yang tak bisa diajak berkompromi dengan kulit. Hoseok menyumpah dalam hati, merutuki sahabat kepala batunya.

Min Yoongi dan keras kepalanya, benar-benar lawan yang sulit untuk ditaklukkan.

***


Dingin ....

Yoongi meringis. Menggosokkan kedua tangan pada lengan untuk menghalau angin malam yang menyeruak masuk ke dalam pori-pori. Malam ini dingin sekali, benar-benar dingin. Ditambah ia hanya memakai selembar kaus tipis lengan panjang tanpa sweater, jaket, ataupun hoodie. Lengkap sudah kesialan Min Yoongi.

Tawaran Hoseok, bisa saja ia menerimanya. Tapi bukan tanpa alasan Yoongi menolak tawaran baik itu. Ia hanya berusaha untuk menepati janji dengan salah satu saudaranya, dan Yoongi tak ingin membuat saudaranya kecewa dengan melanggar janji.

"Malam ini temanku akan datang! Kau boleh pulang, tapi setelah pukul sebelas! Jangan buat aku malu dengan keberadaanmu di rumah ini!"

Helaan napas kasar terdengar. Napas hangatnya beradu dengan dinginnya suhu membuat gumpalan asap putih terbentuk. Yoongi benar-benar ingin segera menginjakkan kaki di rumahnya.

Tunggu, rumahnya?

Ah ... sepertinya bukan kata yang tepat. Karena presensi Yoongi hanya sebagi pembantu di sana. Tidak lebih.

Sepuluh menit kemudian, langkahnya berhenti. Yoongi menatap bangunan di depannya dengan sorot mata ragu. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk berbalik. Melangkahkan kaki menjauhi rumah milik tuan-tuannya. 

Ini pukul sepuluh lebih lima belas. Masih ada empat puluh lima menit dari waktu yang dijanjikan. Yoongi menghela napas pelan. Menatap kedua kaki yang akan membawanya entah ke mana. Hingga ia tiba disebuah tempat tanpa disadari. Senyumnya terpampang. Bukan senyum senang apalagi bahagia. Hanya raut sendu yang terlukis di sana.

Yoongi mendongak, menatap berbagai jenis permainan yang kini nampak tua. Jika boleh, Yoongi ingin berkata bahwa ia merindukan semuanya. Yoongi ingin semuanya kembali seperti dulu. Saat semuanya masih baik-baik saja.

Kakinya ia bawa pada bangku taman. Yoongi hanya diam. Duduk sendiri di bangku taman ditemani angin malam yang cukup untuk menerjang tulang. Duduk di sana dalam kesendirian, dengan bubuhan kenangan sebagai tambahan.

Yoongi ingin semuanya kembali seperti dulu.

Tapi ...

Apa Yoongi berhak, sementara posisinya hanyalah seorang anak pungut di sini?





TBC

Truth: REVEALED ✔Where stories live. Discover now